Batubara adalah batuan yang mudah terbakar, yang
lebih dari 50%-70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan
material karbonan, termasuk inherent moisture. Proses
terbentuknya memerlukan waktu jutaan tahun yang terdiri dari dua tahap biokimia
(pengambutan) dan geokimia (pembatubaraan). Batubara merupakan salah satu
sumber energi fosil yang makin ramai dimanfaatkan oleh negara-negara maju
didunia sepertiJepang, Tiongkok, Thailand, Amerika Serikat, Belanda, Italy dan
beberapa negara lainnya. Selain harganya cukup murah, energi yang dihasilkannya
berlimpah, makamenjadi pilihan untuk mempergunakan batubara sebagai sumber
energiindustri pembangkit listrik.
Provinsi Kalimantan Timur adalah penghasil batubara terbesar di Indonesia.
Pada tahun 2012,Kalimantan timur memproduksi 336,8 juta metrik ton batubara
untuk kebutuhan ekspor, dan hingga tahun 2013Kalimantan Timurmemiliki 1.488
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 33 Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) atau
PKP2B.Realita soaisl menunjukkan, batubara tidak menjadi berkah bagi masyarakat
di Kalimantan Timur khususnya masyarakat adat Dayak dan petani yang hidupnya
bergantung dengan tanah. Kota Samarinda yang memiliki luas total wilayah 71.800
hektar, terbagi menjadi 10 kecamatan, terdapat 63 Izin Usaha Pertambangan (IUP)
dan 5 Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) atau PKP2B yang luasnya mencapai
71% dari luas kota Samarinda.
Industri keruk yang dipilih oleh pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur sejak runtuhnya zaman kayu sekitar tahun 2000-an adalah
pilihan yang salah. Industri yang rakus akan lahan dan air ini, bukan hanya
membuat masyarakat Kalimantan Timur kehilangan tanah dan matapencaharian,
bahkan membuat kota Samarinda menanggung bencana ekologi dengan bencana banjir
yang melanda setiap kali hujan datang. Bencana ekologi yang sengaja diciptakan
oleh pemegang kebijakan membuat kehidupan masyarakat Kalimantan Timur terpuruk
secara sosial, budaya dan ekonomi. Berikut dipaparkan mengenai daya rusak
tambang batubara dan bencana ekologi yang terjadi di Provinsi Kalimantan TImur.
Tentang
Batubara
Batu bara merupakan batuan yang mudah terbakar, karena
lebih dari 50%-70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material
karbonan termasukinherent moisture. Bahan organik utamanya yaitu
tumbuhan berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen,
damar, dan lain-lain. Bahan-bahan organik tersebut mengalami tingkat pembusukan
atau dekomposisi dengan bantuan mikroba sehingga menyebabkan perubahan
sifat-sifat fisik maupun kimia, sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan
lainnya.
Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap,
yaitu tahap biokimia (penggambutan)dan tahap geokimia (pembatubaraan).Tahap
penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa
tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa
dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang pada
kedalaman 0,5-10 meter [1].
Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O,
dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus, yang oleh
bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadigambut. Sedangkan tahap
pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses
biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen
yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari
gambut. Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase
hidrogen dan oksigen akan berkurang. Proses ini menghasilkan batubara dalam
berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub
bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.
Negara-negara Pengkonsumsi Batubara
Direktorat Jendral Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral Indonesia mencatat hingga tahun 2014 terdapat 23 negara yang menjadi
langganan batubara Indonesia, hingga tahun 2013-2014 total ekspor batubara
Indonesia mencapai 196,748,100.16 metrik ton,[2] dari
produksi Izin PKP2B atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), belum termasuk Izin Usaha Pertambangan yang di keluarkan
oleh Bupati dan walikota.
Batubara merupakan salah satu sumber energi penting
bagi dunia, hampir 40% kebutuhan listrik dunia terpenuhi dengan mengkonsumsi
batubara, contohnya Thailand, hampir 80% menggunakan batubara untuk kebutuhan
listrik penduduk dan industri. Pasokan batubara tersebut,90% berasal dari
Provinsi Kalimantan Timur. SedangkanPolandia menggunakan batubara lebih dari
94% untuk pembangkit tenaga listrik, Afrika Selatan 92%, Tiongkok 77% dan
Australia 76%. Batubara merupakan sumber energi yang mengalami pertumbuhan
paling cepat di dunia, daripada gas, minyak, nuklir, air dan sinar surya,
lantaran harganya cukup murah dan beberapa Negara berkembang seperti Indonesia
menyediakan batubara secara besar-besaran dengan produksi yang setiap tahunnya
terus meningkat. Bahkan untuk kebutuhan listrik dunia pemerintah membuat
program nasional dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI),[3] yang didalamnya menjadikan Kalimantan
sebagai Lumbung Energi Nasional untuk percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Energi yang dimaksud adalah batubara, Indonesia akan menjadi Negara terbesar
yang akan memenuhi kebutuhan batubara dunia.Data mengenai ekspor batubara
Indonesia ke beberapa negara tujuan, dapat dilihat dalam tabel dibahaw ini.
Izin Usaha Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur
Pulau Kalimantan yang juga dikenal dengan nama
Borneo, memiliki 5 Provinsi hingga akhir tahun 2011, yaitu Provinsi Kalimantan
Barat (Kalbar), Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Selatan (Kalsel),
Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Utara(Kaltara). ProvinsiKalimantan
Utara merupakan provinsi termuda Indonesia, dan merupakan pemekaran dari Provinsi
Kalimantan Timur, resmi disahkan menjadi provinsi dalam rapat paripurna DPR,
pada 25 Oktober 2012 berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2012,
memiliki luas wilayah21 juta hektar dengan luas daratan 19,88 juta hektar.
Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda, secara
administratif terdiri dari 9 Kabupaten/Kota. Secara etnografi, penduduk asli di
Kalimantan Timur adalah Banjar, Dayak
dan Kutai, namun sejak akhir tahun 1980-an pemerintahan Rezim Orde Baru melalui
program Transmigrasi mendatangkan orang-orang Jawa, Sulawesi, Lombok, Bali dan
lainnya. Orang-orang Dayak dan Kutai bermukim di sepanjang sungai Mahakam dan
anak-anak sungainya. Sungai Mahakam merupakan sungai terbesar di
Provinsi Kalimantan Timur yang bermuara di Selat Makassar.
Sungai dengan panjang sekitar 920 km melintasi wilayah Kabupaten Mahakam Hulu
dan Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu,
hingga Kabupaten Kutai Kartanegara dan
Kota Samarinda di bagian hilir. Sungai Mahakam memiliki peranan
penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air, perikanan
maupun sebagai prasarana transportasi dan juga hidup spesies mamalia air
tawar yang terancam punah, yakni Pesut Mahakam [4]
Sungai Mahakam menjadi saksi bisu penjarahan
sumberdaya alam Kalimantan Timur untuk kepentingan asing, mulai dari industri
kayu yang berjaya di tahun 1980-an, sungai Mahakam menjadi jalur transportasi
utama pengangkutan kayu-kayu tersebut untuk di ekspor, kini sungai Mahakam
menjadi saksi bagaimana batubara diangkut untuk dijual demi menerangi Negara-negara
yang dulu menjajah Indonesia. Penjajahan gaya baru yang tidak disadari adalah
negara-negara tersebut mengambil kekayaan sumber daya alam dengan bantuan
aparat Negara, yang dengan mulus menerbitkan Izin-Izin pertambangan yang
tersebar hingga pelosok kampung orang Dayak.
Hingga Desember 2012 Dinas Pertambangan dan Energi
Kalimantan Timur mencatat ada 1.488 Izin usaha pertambagan (IUP) yang
diterbitkan oleh bupati dan walikota dan ada 33 Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK) yang diterbitkan oleh Kementrian Energi dan Sumberdaya Alam Indonesia di
Kalimantan Timur. Luas Izin tersebut 6,8 juta hektar atau 34,34% luas
Kalimantan Timur, Luas Izin pertambangan tersebut sama dengan dua kali luas
Kalimantan Selatan
Kota Samarinda, sejak tahun 2007,terdapat 40 Izin
tambang batubara. Padahal Peraturan Daerah (Perda) menegaskan hanya di Kawasan
Samarinda Utara, tepatnya Kelurahan Sungai Siring yang boleh ditambang karena
ada Izin PKP2B atau IUPK.Namun diakhir tahun 2012 Dinas Pertambangan Kota
Samarinda merilis ada 63 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 5 Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) yang tersebar di 8 Kecamatan dan mengkapling 71%
luas wilayah Kota Samarinda, yang hanya 71.800 hektar.
Samarinda merupakan wilayah padat penduduk, rata-rata
mata pencaharian penduduknya bertani dan mengolah tanah untuk berkebun sayur
mayur serta budidaya ikan air tawar. Tiga dari 10 Kecamatan di Kota Samarinda
menjadi wilayah ketahanan pangan di Kalimantan Timur, yaitu Kecamatan Samarinda
Utara, sedangkan Kelurahan Mugirejo yang 80% sayur mayur dari kelurahan ini
menjadi pemenuh kebutuhan serat dan vitamin warga kota, di Kecamatan Sambutan,
Kelurahan Makroman menjadi pemenuh kebutuhan beras serta ikan air tawar, dan
Kecamatan Palaran yang ditetapkan pemerintah kota sebagai Lumbung Beras kota
Samarinda. Namun kini daerah-daerah tersebut hampir habis tergusur kegiatan
industri keruk batubara.
Daya Rusak Tambang Batubara
Kabupaten Kutai Barat dan Kutai Timur memiliki Izin
usaha pertambangan terluas di Kalimantan Timur. Sedangkan Kabupaten Kutai
Kartangara adalah kabupaten dengan Izin usaha pertambangan batubara terbanyak.
Tiga kabupaten ini semula merupakan wilayah Kerajaan Kutai. Izin-Izin
pertambangan batubara mulai terbit sejak 1982 dengan penerima Izin
pertama Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) yang terbit di zaman rezim otoriter Soeharto,
yaitu PT. Kaltim Prima Coal yang mengkapling tiga Kecamatan yaitu
Sangatta, Bengalon dan Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur.PT Kaltim Prima Coal (PT
KPC) merupakan industri tambang batubara terbesar di Kalimantan
Timur, konsesinya mencapai 90.938 hektar yang luasnya satu setengah kali
luas Kota Samarinda. Suku Dayak Basap adalah penduduk asli di Kabupaten Kutai
Timur yang kampungnya berada dalam konsesi Izin PT. Kaltim Prima Coal. Pada tahun 2013 PT.
KPC memproduksi 50 juta metrikton batubara, atau berkontribusi
hampir 12% produksi batubara nasional yang mencapai 421 juta metrikton
pada 2013.[5]
Aktivitas industri keruk tambang batubara
menghasikan krisis luar biasa bagi lingkungan dan masyarakat di sekitar wilayah
pengerukan tambang. Sungai-sungai rusak dan mengalami pencemaran, yang ditandai
dengan berubahnya warna air sungai, sedimentasi atau pendangkalan karena
lumpur-lumpur, ribuan ikan mati dan daerah-daerah ini menjadi langganan banjir.
Sedangkan warga disekitar, khususnya masyarakat adat Dayak dan petani tidak
hanya kehilangan lahan, bahkan sampai dipindah paksa oleh perusahaan. Mereka
kehilangan mata pencaharian, krisis air bersih, dan penyakit-penyakit baru
mulai bermunculan seperti gatal pada kulit disertai nanah, terlebih lagi bagi
perempuan, beban hidup meningkat juga kualitas hidupnya menurun karena rusak
sumber air.
Tercemarnya Sumber Air dan Banjir
Tambang batubara membutuhkan banyak air, terutama
karena air digunakan untuk menyiram jalan tambang (houling) agar tidak
berdebu dan air juga digunakan untuk mencuci batubara. Air ini biasanya diambil
dari sungai-sungai yang menjadi sumber air masyakarat, salah satu contohnya
adalah sungai Sanggata dan Bengalon di lokasi pertambangan PT. Kaltim Prima
Coal.
Sejak tahun 2013, warga Kecamatan Sangatta dan
Bengalon sudah tidak pernah menggunakan air di sungai, karena airnya tercemar
limbah batubara yang dibuang perusahaan kesungai, serta lumpur yang membuat
dangkal sungai dan keruhnya air sungai membuat tidak layak dipakai, bahkan
beberapa warga mengalami gatal-gatal pada kulitnya setelah mandi menggunakan
air tersebut.
Kota Samarinda, sejak tahun 2008 mulai mengalami
bencana banjir yang hampir tidak pernah terjadi sebelumnya. Setelah Walikota
Samarinda menerbitkan 63 Izin usaha pertambangan dari tahun 2007-2009 dan aktif
berproduksi,maka kota Samarinda menjadi langganan banjir, karena tidak adanya
daerah resapan air atau hutan kota yang menjadi wadah resapan air ketika hujan
turun. Kota Samarinda mengalami kebangkrutan dan pemerintah Kota mendapat
kritikan dari warganya karena tidak dapat menangani banjir yang setiap satu jam
hujan turun, kota tergenang dan aktivitas warga menjadi lumpuh.
Pada 2008-2010, biaya penanggulangan dampak
banjir mencapai Rp 107,9 milyar, meningkat menjadi Rp 602 Milyar pada
periode 2011-2013. Jumlah tersebut belum termasuk biaya rehabilitasi kerusakan
jalan umum akibat pengangkutan batubaramencapai Rp 37,6Milyar, dan
biaya yang ditanggung warga sekitar pertambangan saat lahan mereka dihantam
banjirdan krisis air saat kemarau.
Krisis Listrik, Krisis Air dan Tingginya Biaya Hidup
Di Kabupaten Kutai Timur yang beroperasi industri
keruk tambang batubara PT. Kaltim Prima Coal, hanya ada 37 desa dari 134 desa
yang mendapat penerangan listrik selama 24 jam. Parahnya lagi, penerangan
listrik itu hanya desa yang menjadi pusat pemerintahan.[6] Padahal
12% dari produksi batubara nasional berasal dari Kabupaten Kutai Timur, namun
batubara tersebut hanya untuk kebutuhan ekspor menambah pundi-pundi APBN yang
menisbikan daya rusak tambang batubara terhadap lingkungan dan masyarakat.
Padahal sudah lebih dari dua dekade perusahaan-perusahan besar seperti PT.
Kaltim Prima Coal aktif berproduksi.
Kalimantan Timur hanya memiliki satu pembangkit
listrik tenga uap (PLTU) yang menggunakan batubara sebagai sumber bahan
bakarnya, PLTU di desa Embalut Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai
Kartanegara. Namun hanya tahun 2010-2011 PLTU ini aktif, dan di akhirtahun 2011
PLTU ini tidak lagi mendapatkan pasokan batubaradengan alasan yang tidak jelas.
Sejak awal batubara diproduksi, Kalimantan Timur tidak pernah menggunakan
batubara untuk kebutuhan listrik warganya. Namun saat Dahlan Iskan yang menjadi
Menetri BUMN, barulah terpikir membangun PLTU di Kaltim, namun PLTU itu
sekarang tidak berfungsi lagi.
Kalimantan Timur hanya memproduksi batu bara dan tidak
mengkonsumsi batu bara. Peristiwa pemadaman listrik hampir setiap hari dialami
oleh warganya, karena PLTD kehabisan bahan bakar dan meningkatnya kebutuhan
listrik, terlebih Izin-Izin untuk hotel dan pusat perbelanjaan marak
diterbitkan Pemerintah Daerah, sehingga pasokan listrik tidak pernah
berkecukupan. Padahal Kalimantan Timur adalah lumbung batubara, namun miskin
energi.
Krisis air juga dialami warga disekitar lubang-lubang
tambang batubara. Misalnya, sejak sumber mata air rusak, warga Desa Makroman,
Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda mengalami gagal panen dan ikan-ikan mati.
Makroman adalah kawasan pertanian di Kota Samarinda, wilayah ini oleh Peraturan
Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota samarinda tahun 2005 menjadi kawasan
pertanian, sebagai lumbung pangan kota Samarinda. Namun sejak tahun 2007 Izin
usaha pertambangan CV. Arjuna diterbitkan, desa ini sering mengalami kekeringan
dan banjir lumpur yang berasal dari aktivitas tambang batubara.
Padahal setiap kali panen, petani di Makroman mampu
menghasilkan 6-8 ton gabah kering, Makroman memiliki 2 Kelompok Tani yang luas
areal persawahannya mencapai lebih dari 500 hektar. Makroman juga memiliki
kelompok petani budidaya ikan air tawar, setiap kali panen menghasilkan sekitar
Rp. 40 juta rupiah per-tiga bulan sekalidari hasil penjualan Ikan Nila. Makroman
merupakan desa yang subur dan makmur
dengan hasil pertanian, petaninya bisa dikatakan sejahtera, karena hanya dari
bertani mereka bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak mereka
hingga tamat sarjana.
Sejak perusahaan tambang beroperasi, keadaan berubah
total, petani gagal panen karena tanaman padi kekurangan air, batang padi
membusuk tertimbun lumpur, hama baru bermunculan seperti ular dan tikus kerap
ditemukan di areal persawahan hingga beranak-pinak. Ikan-ikan pun mati karena
budidaya ikan menggunakan air dari lubang tambang. Kebutuhan biaya hidup
meningkat bersamaan dengan beroperasinya tambang batubara. Para petani yang
semula tidak menggunakan pupuk dan racun pembunuh hama, serta kapur untuk
menggemburkan tanah, sekarang harus dilakukan agar padi bertahan hidup dan
tidak gagal panen.
Pupuk dan pestisida dibeli dengan harga yang mahal,
contohnya Lindomin pestisida untuk mematikan rumput harganya 80 ribu rupiah
perliter, paling tidak sawah berukuran 10 x 20 memakai 2 Lindomin hingga
mendekati musim panen. Belum lagi pupuk dan kapur, yang dijual perkarung100
ribu rupiah. Bukan itu saja Ibu-ibu yang biasa menggunakan sumber air bersih dari
air sumur kini berpindah menggunakan air galon seharga 6 ribu rupiah/galon, dan
minimal 2 galon setiap harinya untuk kebutuhan memasak. Sumber air dari sumur
telah kering karena aktifitas tambang batubara diMakroman, ada 8 luang besar
yang berisi air, hingga membentuk danau-danau biru yang dalamnya lebih 100
meter.
Menelan Korban Jiwa
Sejatinya industri keruk batubara tidak hanya
menyebabkan kerusakan lingkungan, krisis dan tingginya beban hidup warga
sekitar lokasi pertambangan, namun juga menyebabkan hilangnya nyawa 9 orang
anak di Kota Samarinda. Lubang-lubang bekas tambang batubara yang tidak
direklamasi dan ditutup mencapai 150 buah lubang, luasnya rata-rata mencapai
satu hektar dengan kedalaman lebih dari 50 meter.
Setiap Izin usaha pertambangan dikota Samarinda,
rata-rata membuat 7 lubang yang menjadi danau karena terisi air hujan dan air
yang ada disekitarnya. Lubang-lubang tersebut ditinggalkan dan dibiarkan
menjadi danau besar tanpa ada kegiatan penutupan dan reklamasi serta pengawasan
dari Pemerintah. Daerah.
Sejak tahun 2011-2014, sudah ada 9 bocah tewas
tenggelam dilubang tambang batubara yang tidak ditutup. Parahnya lagi kasus
meninggalnya bocah tersebut tidak pernah sampai keranah hukum apalagi hingga ke
Pengadilan. Peristiwa meninggalnya 9 orang bocah korban lubang tambang
batubara, oleh Pemerintah Kota Samarinda dianggap selesai. Padahal sebenarnya
sebab utamanya adalah kelalaian pengawas terhadap aktivitas pertambangan di
Samarinda. Namun tidak ada tindakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Kota
Samarinda.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55, tahun 2010
mengenai Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, menegaskan bahwapelaku utamapengawasan
pertambangan adalah Badan Lingkungan Hidup, Distamben dan Inspektur
Pertambangan, untuk mengawasi jika terjadi kelalaian proses operasi
pertambangan yang menyebabkan terlampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu
air, baku kerusakan, lukanya orang, dan/atau matinya orang.
Ironisnya, kasus tersebut hanya diselesaikan dengan
pemberian “tali asih” atau semacam pemberian santunan oleh perusahaan kepada
keluarga korban yang besarnya bervariasi antara 100-120 juta rupiah, dan
kasusnya dinyatakan selesai. Maka dapat dikatakan, dalam penyelesaian kasus
industri keruk batubara, nyawa manusia dihargai seadanya melalui penyelesaian
tali asih. Nadia Taskiya Putri dan Raihan bocah berusia 10 tahun yang menjadi
korban kedelapan dan kesembilan tewasnya warga Samarinda dilubang tambang bekas
batubara pada 8 April 2014 dan 22 Desember 2014, merupakan potret suram bencana
ekologi yang di sebabkan oleh salah pilih kebijakan dan lalainya pemerintah
demi pembangunannamun mengorbankan warganya.
Asas-asas ekologi yang seharusnya menjadi dasar dalam
pilihan kebijakan untuk pembagunan wilayah yang berkaitan langsung dengan
lingkungan hidup dan hajat hidup orang banyak, tidak pernah diindahkan oleh
para pembuat kebiijakan. Padahal semestinya dalam setiap aktivitas yang
berkaitan dengan lingkungan harus dilakukan analisis berdasarkan prinsip
kelestarian lingkungan. Tatkala hal itu dinisbakan, maka krisis ekologi akan
terus muncul dan berlipat ganda jika mengabaikan prinsip-prinsip tersebut.
Memahami bencana ekologi yang terjadi karena daya
rusak industri keruk pertambangan batubara, adalah langkah awal untuk membuka penalaran
semua pihak yang berkepentingan, termasuk Pemerintah Daerah sebagai pemegang
kebijakan, pelaku industri, pengguna batubara, masyarakat dan kita
semua.Bahwasanya setiap perencanaan pembangunan yang terkaitdengan masa depan
bangsa, tidak pernah luput dari pentingnya lingkungan terhadap kehidupan
manusia dan interaksi antara manusia dan alam serta keniscayaan anugerah Sang
Pencipta. Jika prinsip dasar ekologi, yaitu kelestarian lingkungan diabaikan, maka
kehidupan manusia saat kini dan di masa depan akan terancam oleh bencana
ekologi.
Pertambangan batubara adalah pilihan yang salah untuk
masa depan bangsa demi menambah pundi-pundi APBN. Terlebih sampai mengorbankan
masyarakat yang ada disekitar wilayah pertambangan. Dampak sosial-budaya
industri keruk ini amat dahsyat, sehingga mampu menghancurkan pranata sosial
dan kearifan tradisi warga masyarakat. Ibaratnya, satu persatu nyawa generasi
muda hilang tenggelam dilobang-lobang sisa galian tambang, dan yang tersisa
hanyalah limbah lumpur dan banjir yang membuat bangkrut warga kota Samarinda.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur seharusnya dapat
belajar dari pengalaman kejayaan era industri kayu, yang akhirnya runtuh karena
tidak pernah melakukan penanaman kembali secara serius. Namun, pohon di
belantara Borneo masih bisa tumbuh, namun setelah batubara habis terkeruk,
tidak akan bisa tumbuh lagi. Maka Kalimantan Timur hanya akan menjadi “monumen”
limbah dan lobang-lobang galian tambang batubara.
Kerusakan ekologi yang maha dahsyat, sejatinya
merupakan buah dari akibat dominasi manusia terhadap alam. Terhadap fakta ini,
kiranya benar yang dikatakan Charles Reich, “Dari semua perubahan yang telah
terjadi pada manusia, yang paling menyedihkan ialah, manusia telah
kehilangan tanah, udara, tetumbuhan, dan pengetahuan tentang tubuhnya sendiri
yang didapat dari barang-barang ini.”[7]Hendaklah
niscaya, keserakahan manusia telah mengakibatkan alam semesta menuju
kehancuran.
Maka sebagai refleksi terhadap dampak bencana ekologi,
layak disimak pandangan Tom Dale dan Vernon Gill Carter, yang termuat dalam
buku “Kecil itu Indah”, karangan E.F. Schumacher,[8]
demikian bunyinya:
“Manusia beradab, hampir selalu berhasil menguasai
lingkungan hidupnya untuk sementara. Kekuasaan yang bersifat sementara itu,
dikiranya abadi. Dia menganggap dirinya menguasai seluruh dunia. Padahal dia
tak mampu mengetahui hukum alam sepenuhnya. Manusia, beradab maupun
biadab, adalah anak alam bukan tuan yang menguasai alam. Bila ia mau mempertahankan
kekuasaannya. Dia harus menyesuaikan diri pada hukum alam. Jika ia mencoba
mengelakkan hukum alam. Lingkungan alam yang mendukungnya akan hancur. Jika
lingkungan hidupnya hancur, maka peradaban juga akan hancur”.[9] Jika kesadaran terhadap marabahaya bencana ekologi tak
juga ada hingga saat ini, mungkinkan kita memohon kepada Tuhan untuk
menyelesaikan bencana ekologi tersebut. (*)
Daftar
Pustaka
“COAL MINING NEWS Batubara” HTTP://WWW.BATUBARAINDONESIA.COM/ARTICLE.PHP?AID=A3447C321B4C7EC844DC006E224A2609
Kaltim, Jatam.
2010. Deadly Coal Report. Jatam Kaltim, Walhi Kalsel. Kalimantan Timur.
“Penjualan
Luar Negeri (PKP2B & BUMN) / Negara Tujuan”
“Potret
Suram Industri Pertambangan Di Kalimantan Timur : Nadia, Anak ke Delapan”
Setiadi. D dan
Dewi, P. 1989., Bahan Pengajaran, Dasar-dasar Ekologi. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Institute Pertanian Bogor.
Jawa Barat.
Sumber
Data Tabel dan Foto
Dinas
Pertambangan dan Energi Kota Samarinda tahun 2013, tentang jumlah Izin Usaha
Pertambangan Kota Samarinda.
[1] Proses terbentuknya batubara HTTP://WWW.BATUBARAINDONESIA.COM/ARTICLE.PHP?AID=A3447C321B4C7EC844DC006E224A2609
[2] Sumber
data : website KEMENESDM tahun 2014 www.minerba.esdm.go.id/public/38477/produksi-batubara/.ekspor-negara/
[3] Data
dokumen dalam rencana percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia
(MP3EI) tahun 2011-2025
[4]Pesut
Mahakam (Orcaella brevirostris) adalah hewan mamalia yang
sering disebut lumba-lumba air tawar yang hampir punah.
Berdasarkan data tahun 2007,
populasi pesut tinggal 50 ekor dan menempati urutan tertinggi satwa Indonesia yang
terancam punah. Secara taksonomi, pesut mahakam adalah subspesies dari pesut (Irrawaddy dolphin).Tidak seperti mamalia
air lain yakni lumba-lumba dan ikan paus yang hidup di laut, pesut mahakam
hidup di sungai-sungai daerah tropis. Populasi satwa langka yang dilindungi
undang-undang ini hanya terdapat pada tiga lokasi di dunia, yakni Sungai
Mahakam, Sungai
Mekong,
dan Sungai Irawady.
[5] http://apbi-icma.org/realisasi-produksi-batubara-indonesia-tahun-2013-sebesar-421-juta-ton/
[6] Laporan
Jatam Kaltim dalam “Deadly Coal” tahun 2010.
[7] Pernyataan
Charles Reich terdapat dalam kitab bertajuk, “Nilai Budaya Timur dan Barat:
Konflik atau Harmoni?”, To Thi Anh, Gramedia, Jakarta, 1984. Sedangkan naskah
aslinya terdapat dalam, “The Greening of America”, Charles Reich, New York,
Bantam Books, 1971, hlm 247.
[8] E.F.
Schumacher, “Kecil Itu Indah Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil”,
LP3ES, Jakarta, 1980
[9] Lebihlanjut berkaitan dengan bencana ekologi, simak artikel “Prahara
Budaya dalam Eksploitasi Sumber Daya Alam. Refleksi Peradaban Komunitas Adat di
Kalimantan,” oleh Roedy Haryo Widjono AMZ, dalam buku bertajuk, “Menguak Tabir
Kelola Alam, Pengelolaan Sumberdaya Alam Kalimantan Timur dalam Kacamata
Desentralisasi”, APKSA, Samarinda, Juni 2001
Kami menyediakan Open Trip untuk Mengunjungi Lokasi yang ada di dalam tulisan, dengan Paket "Toxic Tour", Tour melintasi kawasan beracun bersama dengan JATAM KALTIM
hubungi kami di :
email : sarahagustio@gmail.com
Line/Wa: 081255567264
Ig : @sarahceae
Komentar
Posting Komentar