Nadia: Potret Korban Lumbang Tambang Batubara, KALTIM



Lubang tambang tempat tewasnya Nadia, pada 8 April 2014

Warga desa yang menemukan Nadia di dalam lubang tambang

Nadia Taskiya Putri, 10 tahun
Nadia murid perempuan kelas 5 Sekolah Dasar 015 Kelurahan Rawa Makmur, Kecamatan Palaran, Samarinda.Nama lengkapnya Nadia Tazkia Putri, di kelasnya dikenal pendiam tapi pintar. Ia anak pertama pasangan transmigran asal Kebumen Jawa Tengah, Ngatimin dan Zuraida yang datang ke Palaran Samarinda pada 1975. 

Nadia  suka olah raga dan bercita-cita menjadi guru Sayangnya, cita-cita tak pernah tercapai, salah satu lubang tambang PT. Energi Cahaya Industritama (ECI) merenggutnya. Sehari sebelum Pemilu Legislatif, 8 April 2014, Nadia ditemukan meninggal di lubang tambang, masih menggunakan seragam sekolah, kepalanya terbenam dalam lumpur. Palaran adalah kecamatan ke dua terluas di Kota Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur. Luasnya 18.253 Ha atau 25,4% luas kota Samarinda, memiliki 5 kelurahan yang berbatasan ldengan kabupaten Kutai Kartanegara dan sungai Mahakam. Lima Kelurahan , yaitu Bukuan, Simpang Pasir, Bentuas, Rawa Makmur dan Handil Bakti , sejak 2010  telah memiliki 24 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan satu ijin PKP2B, yang total luasnya mencapai 70,76% luas Kecamatan Palaran. Hampir semuanya aktif mengeruk dan mengangkut batubaranya keluar dari Palaran.

PT. Energi Cahaya Industritama, salah satu yang menggali di Palaran. Perusahaan ini memiliki IUP seluas 1.977,33 Ha yang tersebar pada empat Kelurahan di Kecamatan Palaran yaitu Rawa Makmur, Handil Bakti, Bukuan dan Bentuas. Perusahaan ini mempekerjakan perusahaan lain untuk menggali batubara, salah satunya CV. Cahaya Ramadhan di kelurahan Rawa Makmur RT. 43. Di sana, terdapat lubang sekitar  200 meter persegi sedalam 7 meter yang di biarkan menganga dan ditinggalkan begitu saja. Tak ada tanda-tandaperingatan, pembatas apalagi pagar penutup.

“Dulu, lubang ini adalah bukit yang menjadi batas RT. 43 dan 48, bukit itu adalah daerah resapan air saat hujan, karena banyak pohon yang tumbuh di situ, pohon buah utamanya” kata Basuki Rahmat, kakek dari Nadia

“Tambang ini datangnya pada masa pak Dahlan menjabat sebagai Lurah di 2012 lalu, kami pernah kordinasi dengan beliau kalau kami menolak tambang masuk ke kampung, karena kampung ini kan padat penduduk, ada 52 Rukun Tetangga di kelurahan Rawa Makmur, bagaimana bisa menambang batubara, dan jalannya lewat mana. “ tambah pak Basuki.

Selama kami melakukan protes ke pak lurah, tambang tersebut terus saja bekerja, siang dan malam dia meruntuhkan gunung dan menggali lubang. Bukan pakai truk  besar mengangkut batubaranya tapi dimasukan karung terlebih dahulu baru diangkut kejalan besar dengan menggunakan truk dan di bawa ke penumpukan di pinggir sungai Mahakam ‘ pak Basuki menambahkan cerita bagaimana cara CV. Cahaya Ramdhan menambang. Dulu pada awalnya Dinas Pertambangan kota Samarinda sempat memasang pita tanda peringatan bahaya terhadap tambang ini, tapi cuma sekali saja mereka datang selama 2 tahun terakhir. Pita tersebut hilang entah kemana.

Bagaimana tidak, pita tersebut hilang begitu saja, hanya ada 4 inspektur tambang yang mengawasi 63 ijin usaha pertambangan (IUP) dan 5 Ijin Khusus (PKP2B)yang mengkapling 71% luas kota Samarinda.Dengan jumlah ijin-ijin tersebut paling tidak 1 orang mengawasi lebih dari 15 ijin perbulannya sesuai dengan UU no. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Begitu pula dengan kewenangan yang dimiliki oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Samarinda, Dinas pertambangan dan energi Kota Samarinda serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Samarinda,  yang mempunyai fungsi pengawasan terhadap segala jenis kegiatan usaha pertambangan.

Jika dilihat dari segi hukum pun, mengenai peraturan pemerintah no 78 tahun 2010 tentang reklamasi dan pasca tambang tidak di awasi apalagi dijalankan dengan serius oleh pemerintah kota Samarinda, buktinya 150 lubang tambang dibiarkan menganga begitu saja tanpa perlakuan. Inilah yang terjadi di Kelurahan Rawa Makmur, baik Distamben, BLH dan inspektur pertambangan lupa datang kembali, mereka tidak mampu mengawasi jumlah ijin yang terlalu banyak di kota ini dan melupakannya kampung ini, begitu pula dengan kampung lainnya.

PT. Energi Cahaya Industritama (ECI) adalah tambang kedua yang memiliki konsesi terbesar kedua untuk skala Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di kota Samarinda, setelah PT. Insani Bara Perkasa, Ia sudah mulai berproduksi sejak 9 Nvember 2010 dan akan berakhir 13 oktober 2018, perusahaan yang pada awalnya meleburkan diri dari 3 perusahaan skala IUP.

Pemiliknya Honardy Boentario, ia adalah pemain lama bisnis tambang sebagai pemasok PT. Timah, di kaltim ia memiliki bisnis batu bara Mahakam Coal, terminal di Balik Buaya Palaran, melalui grounya Borneo Indonesia, ia juga memiliki 7 tambang di kaltim dan tak luput juga bisnis reklamasi yang sekarang sedang digandrunginya. PT. Energi Cahaya Industritama memproduksi batubara Palaran untuk melayani India dan china.

Korban Ke Delapan
Nadia, adalah anak ke delapan yang tewas di lubang tambang setelah Miftahul Jannah, Junaidi, Ramadhani (PT. Hymco Coal, 2011), Eza dan Ema (PT. Panca Prima Mining, 2011), Maulana Mahendra (tambang milik Darmadi, 2012) dan satu anak yang tidak terekspose oleh media di Palaran, Simpang Pasir 2013. Pemerintah kota Samarinda tidak pernah mau belajar dari kejadian-kejadian ini, selalu saja masuk ke lubang yang sama, bagai keledai yang terjerumus kelubang sebelumnya. Tujuh kasus anak sebelumnya hingga saat ini tidak ada upaya hukum yang tegas untuk memberikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan penyebab hilangnya nyawa anak-anak tersebut.

Walikota dan dinas pertambangan dan energi kota samarinda dapat diterapkan pasal 359 kitab undang-undang hukum pidana dan pasal 112 UUPLH sebab unsur barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain yang tercantum dalam pasal 359 KUHP maupun paasal 112 UUPLH “setiap pejabat berwenang”, tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penaggung jawab usaha, atau kegiatan lingkungan”, mengakibatkan hilangnya nyawa manusia telah terpenuhi, maka pejabat tersebut harus mendapatkan hukum pidana.

Jika pasal tersebut tidak di jalankan dan diterapkan serta penyidikan pun tidak jelas, yang selama ini penyidikan kasus hanya berlarut-larut mengendur waktu tanpa kejelasan kepastian, dan tanpa transparan atas perkembangan penyidikan kepada publik.

Tali Asih

Tujuh dari 8 orang yang  menjadi korban lubang tambang batubara di Kota Samarinda kasusnya hanya sampai berdamai dengan menerima “tali asih” atau “santunan” mulai dari 50 hingga 120 juta dan melupakan unsur pidana yang seharusnya di tegakan.

Contohnya saja pada keluarga Eza bocah yang tewas di lubang tambang PT. Panca Prima Mining, keluarga diberi uang sejumlah 150 juta sebagai tanda berdamai dengan perusahaan, dan tentu saja pemerintah kota samarinda dengan enteng melepaskan dan menganggap tidak pernah terjadi pelanggaran apa-apa stelah pemberian dana tali asih tadi. Tali asih diberikan untuk perdamaian antara pelaku dan korban, dan kita melupakan hubungan perdamaian pelaku dengan negara yang berdasar atas hukum.

Selama ini yang terjadi di 7 orang korban tersebut, oleh pemerintah kota samarinda dianggap selesai. Yang sebenarnya pelaku utama untuk kelalaian ini ialah pengawas yang bertugas dan berwenaang untuk mengawasi setiap aktifitas pertambangan di kota samarinda.

Menurut peraturan pemerintah no 55 tahun 2010 mengenai pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara menerangkan dengan jelas bahwasanya yang menjadi pelaku utamanya dalam pengawasan ini ialah pengawas pertambangan (BLH, Distamben dan Inspektur Pertambangan) jika terjadi kelalaian di dalam proses operasi pertambangan yang menyebabakan terlampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku kerusakan, lukanya orang, dan/atau matinya orang ialah para pengawas tersebut.

Dan perusahaan yang menjadi pelaku usaha tidak dengan mudahnya lepas tanggung jawab hanya dengan tali asih atau memberikan santunan kepada korban, paling tidak perusahaan dapat dikenakan hukuman pidana khusus dengan menggunakan undang-undang 32 tahun 2009, melalui pendekatan orang yang paling bertanggung jawab di perusahaan tersebut yaitu pimpinan perusahaannya. dan Jikalau memang walikota, dinas pertambangan dan energi serta badan lingkungan hidup yang bertugas selama ini mengawasi jalannya usaha pertambangan tidak mampu mengemban tugasnya lagi, lebih baik mundur dari jabatannya.

Karena tidak pernah mau belajaar dari kejadian 7 anak sebelumnya. Mau berapa orang lagikah generasi suram akan tercipta di Kota Samarinda yang hidupnya berakhir di lubang tambang atas kelalaian dan kebijakan yang mereka buat.

Samarinda, 12 April 2014
Oleh :
Sarah Agustio
#AntiGenerasiSuramKaltim JATAM KALTIM


Komentar