Privatisasi Berlapis Ruang Kota, Mungkinkah Dipulihkan?

Oleh Siti Maimunah dan Sarah Agustiorini


Andai mesin waktu bisa membawa kita mundur ke masa lalu mengunjungi sungai Mahakam, sungai terpanjang di Kalimantan Timur dan nomer dua di Indonesia. Sekitar  100 tahun lalu, saat masa kolonial. Ketika perusahaan pertambangan minyak dan batubara  beroperasi pada 1896 hingga 1899, dan perusahaan kayu  milik Belanda dan Jepang mulai berjalan pada 1920an. Saat kayu-kayu ulin tua diangkut melalui sungai Mahakam, Makasar dan Singapore  menuju  China, dan Eropa.

Jika  waktu kita majukan setengah abad berikutnya. Di tempat yang sama, pemandangan yang diidapat masih serupa. Rakit-rakit  dari gelondongan kayu terapung sepanjang beberapa kilometer dibawa ke pabrik-pabrik pengolahan di tepi sungai.  Atau barisan kapal-kapal tongkang membawa tumpukan kayu-kayu gelondongan Ulin dan jenis Meranti dari hutan alam untuk diangkut ke Jepang dan Eropa. Maju lagi di masa sekarang, pemandangannya beda tipis. Setiap harinya, di atas sungai yang sama kita bisa menyaksikan lalu lalang 60 hingga 80 kapal tongkang  berwarna cerah dengan beberapa gunungan batubara di atasnya. Tiap kapal mengangkut sekitar 7-8 ribu metrik ton batubara menuju pembangkit listrik tenaga batubara di Jawa dan Bali, ataupun diangkut ke India, China dan negara Asia tenggara.

Lebih seabad lalu sungai Mahakam telah diprivatisasi untuk kepentingan industri ekstraktif.

Sungai sebagai Ruang Hidup Bersama

Sungai seperti juga kawasan karts, hutan, laut dan lainnya merupakan ruang hidup bersama atau ‘the commons” (Giovanna Ricoveri, 2013), yaitu sumber daya pendukung kehidupan yang digunakan bersama untuk memenuhi kebutuhan dasar (subsisten), bukan untuk dimiliki perorangan dan tidak untuk dijadikan komoditas (komodifikasi). Hubungan timbal balik alam dan manusia dalam the commons  menghasilkan pengetahuan dan pengalaman, kerjasama dan ketergantungan timbal balik yang bentuknya bergantung perbedaan tempat dan waktu.

Sungai Mahakam menjadi saksi tumbuh dan runtuhnya kebudayaan melalui kerajaan Hindu Kutai (350-400 M) dan Kesultanan Islam Kutai Kartanegara (1300-1945), juga pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di Kalimantan Timur sejak 1565. Keterhubungan manusia dengan sungai dirayakan dalam pesta tahunan Erau, atau syukuran atas hasil bumi yang didapat penduduknya. Upacara ini telah dilakukan sejak abad 12, biasanya  dirayakan selama 40 hari dan ditutup oleh ritual Belimbur atau mensucikan diri di sungai.

Samarinda yang dibelah sungai Mahakam tumbuh menjadi kota pelabuhan dagang sejak 1700an dan dinobatkan sebagai ibu kota provinsi pada 1959 dengan luas 71.800 Hektar. Kota yang tumbuh bersama industri ekstraksi ini menjadi ‘godaan’ bagi banyak orang dari luar pulau maupun sekitarnya datang ke Samarinda. Program transmigrasi maupun migrasi mandiri dari pulau jawa dan sekitarnya telah dimulai sejak awal kemerdekan. Para pendatang ini nantinya adalah sumber buruh murah bagi industri ekstraksi di Kalimantan Timur. Pada 2019,  Samarinda  memiliki populasi 858.080 jiwa atau 23,5% penduduk Kalimantan Timur,  terpadat di propinsi ini.

Selain manusia, Daerah Aliran Sungai  (DAS) Mahakam merupakan  ruang hidup bagi 298 jenis burung, 70 di antaranya dilindungi dengan 5 jenis endemic, juga habitat 147 jenis ikan lokal air tawar, beberapa  diantaranya endemik dan bermigrasi dari hilir ke hulu Mahakam setiap tahunnya. Ia juga rumah terakhir Pesut (Orcaella brevirostris), lumba-lumba air tawar yang statusnya terancam punah karena habitatnya makin tercemar. Dua tahun lalu populasinya tersisa 80 ekor.

Privatisasi Berlapis Sungai Mahakam

Salah satu peranan penting negara adalah menyusun peraturan untuk mengatur pembagian dan memberi batas administrasi terhadap alam, termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS). Jika dianalogikan sungai itu seperti tubuh kita, maka tubuh sungai Mahakam telah dibagi-bagi, di-administrasi-kan dalam wilayah 3 kabupaten dan 1 kota.  Hulu sungai Mahakam berada di Kabupaten Mahakam Ulu dan Kutai Barat, lantas badannya di Kabupaten Kutai Kartanegara, sementara kakinya di kota Samarinda. Peng-administrasian ini memudahkan  ruang didata, dipetakan, dimonetasi dan dibagi lagi dalam skala yang lebih kecil sesuai peruntukan yang direncanakan, seperti bagian mana untuk hutan tebangan, hutan konservasi, lahan industri, perumahan dan lainnya.  Inilah yang disebut Nancy Peluso dan Vandergaazt (2008) sebagai proses teritorialisasi.

Sebenarnya teritorialisasi dan privatisasi ruang melalui pemberian konsesi migas, batubara  dan kayu di Kalimantan Timur telah dimulai  sejak masa kolonial. Namun  bertambah masif dan sistematis dengan hadirnya negara. Perusahaan-perusahaan kayu menjadikan tepian sungai Mahakam sebagai tepat penumpukan kayu (logpond), sebelum diangkut kapal-kapal tongkang ke luar dari Samarinda. Bersama industri migas, penebangan kayu menjadi sumber uang rezim Soeharto dan kroninya sebelum kejatuhannya pada 1998.

Sejak 1968, tercatat 17 perusahaan pemegang HPH dengan luas ratusan ribu hektar menguasai hulu sungai mahakam. Pada 2009 sampai 2013 saja wilayah DAS Mahakam kehilangan hutan alam seluas 128 ribu hektar akibat ekstraksi kayu, pertambangan dan perkebunan skala besar (FWI, 2014). Hingga 2013, separuh hutan alam di DAS Mahakam hilang dan tersisa 4,1 juta hektar. 

Hutan yang terus menerus ditebang namun hanya sebagian yang ditanami kembali, makin lama tak mampu memenuhi mesin-mesin pengolah kayu. Industri kayu meredup, saat hutan Indonesia  mendapat ‘kehormatan’ dicatat dalam  Guinees book of record 2008 sebagai negara dengan angka deforestasi paling tinggi di dunia. Namun mesin kapital selalu kreatif untuk bangkit dan berputar kembali. Naiknya permintaan batubara di pasar dunia membuat privatisasi ruang terus berlanjut melalui pemberian konsesi-konsesi tambang dan pengerukan batubara.

Sejak 2000-an, jumlah Izin konsesi tambang batubara terus naik, khususnya menjelang atau sesudah penyelenggaraan pemimpin daerah kota Samarinda. Perijinan menjadi sumber rente bagi para politisi nasional dan lokal untuk mendapatkan suara saat Pemilu maupun Pilkada. Para pelaku politik ini juga memilki peran penting di masa Orde baru. Hingga 2016, terdapat 747 konsesi pertambangan (Jatam, 2020) di sekitar sungai Mahakam. Sungai sebagai infrastruktur sosial ekologis yang sejak lama diubah menjadi infrastruktur ekstraksi hutan kini diganti mendukung industri  batubara. Tepian sungai menjadi lokasi konveyor dan penumpukan (stockpile) batubara sebelum dipindahkan ke tongkang-tongkang dan diangkut melalui sungai keluar dari Kalimantan Timur.

Ruang Sisa bagi Pengungsian Sosial Ekologis 
Ruang hidup sepanjang sungai Mahakam bagaikan kantong pengungsian kota yang sejak lama melayani industri ekstraksi, dan hanya menyediakan ruang sisa bagi warga kota. Ruang sisa (residual space) merupakan “sudut-sudut kota” yang masih bisa dipakai  warga untuk melakukan penyesuaian hidup, wilayah-wilayah yang entah awalnya memang dirancang atau ditinggalkan. Sebagai wilayah yang tak direncanakan secara tertulis (unscripted) maka kepemilikannya pun lemah (Khalil MH & Eissa DM, 2013). Lebih dari itu, mereka bisa digusur dengan alasan menyebabkan kota menjadi kumuh maupun alasan konservasi. Di kota Samarinda ruang tersisa adalah pemukiman kumuh di sepanjang sungai Karang Asam dan Karang Mumus, ruang hijau kurang dari 1%,  krisis air bersih dan langganan banjir tiap tahun. Sejak 2008, pemerintah kota sudah mengumumkan akan menggusur pemukiman kumuh di tepian sungai Karang Mumus dengan  alasan untuk mengurangi banjir dan penataan kota lewat pembangunan perumahan. 

Pada ruang-ruang sisa ini peran negara lebih kelihatan,  setidaknya melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sudah 45 tahun PDAM Tirta Kencana melakukan komersialisasi air sungai Mahakam yang dari waktu ke waktu kualitasnya makin memburuk. Penyebab awalnya, selain pasang surut air di muara yang terjadi sekitar 1980an hingga 1990, masalah utama saat ini  adalah sedimentasi yang luar biasa akibat beroperasinya industri ekstraktif sepanjang sungai Mahakam. Namun begitu, di tengah ketidakpuasan pelanggan terhadap debit air yang terlalu kecil, air yang keruh, dan kadang hanya mengalir di malam hari, bahkan mati hingga 3 hari, PDAM masih berhasil  mengeruk keuntungan sekitar Rp.7 Miliar pada 2018.

Dinas Lingkungan Hidup Kaltim menyebutkan kondisi Sungai Mahakam tercemar berat melalui penelitian sejak 2009 hingga 2011.  Yayasan konservasi RASI, lembaga yang peduli pada keselamatan Pesut, menemukan kandungan kadmium (Cd) dan timbal (Pb)  di sungai Mahakam sudah melampaui ambang batas pada 2017-2018. Kondisi ini membuat PDAM meningkatkan penggunaan bahan kimia penjernih air.  Mereka menggunakan Kaporit (kalsium hipoklorit), soda abu, aluminium sulfat, klorida dan kaolin sebagai bahan utama menjernihkan dan membunuh bakteri. Sebagian bahan-bahan ini bersifat karsinogenik atau memicu sel kanker jika terus menerus digunakan. Pemerintah harus melakukan penelitian untuk tahu efeknya bagi kesehatan dalam jangka panjang.

Bagaimana wilayah Kecamatan Palaran, Samarinda Utara dan Sambutan yang dihuni 28% populasi kota Samarinda namun sebagian besar tak terjangkau jaringan air PDAM karena jarak dan kondisi geografisnya? Pada wilayah ini, daerah tangkapan dan simpanan airnya telah banyak berubah menjadi konsesi pertambangan batubara, bahkan berdekatan dengan pemukiman warga. Tak hanya itu, terdapat 394 lubang tambang yang ditinggalkan perusahaan pemiliknya, tanpa direklamasi (JATAM, 2020). Sebagian lubang-lubang tambang tersebut telah menyebabkan sedikitnya 10 orang mati tenggelam dan tak satu kasus pun yang diproses secara hukum.

Warga yang tinggal di wilayah ini biasanya hanya punya tiga pilihan:  mengkonsumsi air dari lubang tambang, membuat sumur bor atau membeli air tangki dan air galon. Air dari lubang tambang tercemar, tapi terpaksa dikonsumsi oleh mereka yang tak mampu membeli air. Sementara dua pilihan lainnya, membutuhkan biaya tidak sedikit. Biaya pembuatan sumur bor tergantung tingkat kesulitannya, berkisar Rp 3 - 5 juta.  

Di musim kemarau, krisis air meluas ke wilayah perkotaan karena debit air sungai Mahakam yang berkurang dan  meenyebabkan air PDAM makin tersendat mengalir ke rumah pelanggan. Para pelanggan PDAM terpaksa  mengandalkan air  tambahan dengan membeli air dari mobil tangki yang diantar ke rumah-rumah. PDAM justru melihat ini sebagai peluang untuk melipatgandakan keuntungan, mereka  menjual air tangki yang isinya 1200 liter dengan harga sekitar  Rp. 200 ribu. Air bukan dari PDAM harganya lebih murah dengan ukuran yang sama, Rp. 80 ribu rupiah. Warga percaya air PDAM lebih aman sehingga bersedia membeli dengan harga lebih tinggi.

Tujuh tahun belakangan, usaha air galon menjamur di kota Samarinda. Meski tak ada yang bisa menjamin  air dari bisnis individu dan CV ini aman, namun air gallon disukai karena bisa langsung diminum. Dalam satu bulan, sebuah rumah tangga beranggotakan 5-6 orang membutuhkan sekitar 15 air galon dengan  pengeluaran total Rp 240 ribu. Jika angka ini digabung dengan biaya pembelian air tangki yang bisa mencapai 4 kali sebulannya,  maka total kebutuhan pengadaan air berkisar Rp 560.000 hingga Rp 1.040.00. Angka ini setara dengan 19 - 36% Upah Minimum Kota (UMK) kota Samarinda

Di musim hujan krisis air terjadi karena banjir. Resapan air yang hilang dan drainase yang buruk berakibat air hujan dan air dari sungai-sungai melimpah, banjir membawa air kotor bercampur sedimen.  Sejak 15  tahun terakhir, banjir menjadi langganan kota. Pada November 2008 hingga Juni 2020, banjir meluas menggenangi hampir setiap sudut kota. Sekitar 50.000 jiwa terdampak banjir. Dalam setahun sedikitnya 5-6 kali terjadi banjir besar, menenggelamkan jalan-jalan utama dan menghentikan aktivitas perekonomian lokal warga, termasuk transportasi umum dan pasar, yang mempengaruhi lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Memulihkan Ruang Hidup bersama, mungkinkah?

Tentu saja kota Samarinda tak melulu tentang cerita krisis, warga kota  juga aktif melakukan perlawanan terhadap kondisi yang terjadi dan upaya pemulihan. Sejak lama, anak-anak muda yang tergabung dalam organisasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur mengingatkan krisis air dan menyerukan pertambangan  batubara harus segera dihentikan, agar Samarinda mampu mengatasi krisis sosial ekologis. Bersama Gerakan Samarinda Menggugat (GSM), pada 2011, JATAM memfasilitasi gugatan Gugatan Citizen Law Suit (CLS)  atau gugatan warga kota pertama di Asia Tenggara yang mengkaitkan batubara, banjir dan perubahan iklim serta matinya anak-anak di lubang tambang yang ditinggak perusahaan. Selama tiga tahun proses pengadilan, GSM berhasil membangkitkan kesadaran dan menggalang dukungan berbagai kelas dan kelompok warga kota  Samarinda, termasuk petani, akademisi, mahasiswa, agamawan,  komunitas LGBT untuk mendukung gugatan GSM

Pada 2014, Gugatan CLS  di Pengadilan Negeri Samarinda dimenangkan GSM. Kemenangan berikutnya diraih pada 2016 saat pengadilan menolak banding para  pejabat pemerintahan Daerah hingga Nasonal. Hakim menyatakan perbuatan pemerintah  yang tidak melakukan pengawasan dengan baik terhadap izin tambang merupakan  "perbuatan melawan hukum". Pemerintah yang tidak terima lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Sayangnya MA  menolak uji subtansi dan menolak gugatan gugatan warga negara  (CLS) dengan alasan tidak dikenal dalam sistem peradilan Indonesia. Keputusan Lembaga hukum paling tinggi ini merugikan warga Samarinda.

Pada 2016, sekelompok aktivis lingkungan membentuk Komunitas pecinta sungai dan mendirikan Sekolah Sungai Karang Mumus. Mereka melakukan pendidikan dan menggalang gotong royong warga kota agar peduli pada sungai Karang Mumus jika ingin mendapat pasokan air bersih dan sehat. Mereka memungut sampah  secara rutin di tepian sungai Karang mumus, dan dalam  tiga tahun terakhir telah berhasil menanam lebih dari 9 ribu  pohon di sepanjang sungai.

Memulihkan the commons atau ruang hidup bersama  tentu bukan perkara mudah. Warga  kota harus bersatu dan merebut dukungan politik, mereklaim dan menata ruang penghidupan sesuai kebutuhan dan kesepakatan bersama. Kompleksitas persoalan kota yang membentuk karakter pemangsaan ini harus dijadikan latar untuk mengubah kota menuju cita-cita pemulihan dan penataan ruang hidup di masa depan. Warga kota  Samarinda penting memiliki kesadaran sejarah ruang hidup yang telah diprivatisasi berlapis (multiple privatisation) sejak masa kolonial yang membuat mereka menjadi ‘pengungsi’ di ruang-ruang kota yang tersisa (residual spaces) dengan kualitas lingkungan yang terus memburuk. Mereka dipaksa melakukan penyesuaian atas arahan pengurus negara untuk  bisa  menopang permintaan komoditas pasar global. 

Tentu saja Ini menuntut perubahan pandangan seluruh warga kota  termasuk imajinasi  tentang masa depan, termasuk membayangkan masa transisi seperti apa hidup berdampingan dengan sungai, sebagai the commons. Sehingga cita-cita mulia pasal 5 UU No.7/2004,  agar setiap orang bisa mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif - bukan mustahil. Model-model pengurusan bersama seperti Komunitas Sekolah Sungai Karang Mumus di Samarinda  perlu diperbanyak dan diperluas sehingga menjadi inspirasi merebut  kembali the commons.

Model pembangunan kota yang berkarakter pemangsaan (predatory) harus diubah menjadi pembangunan kota yang merawat kemanusiaan dan alam. 

Sumber : Tirto.id   

*Siti Maimunah adalah Peneliti Sajogyo Institute; Mahasiswa Universitas Passau, WEGO-ITN Marie Sklodowska-Curie Fellow 
*Sarah Agustiorini adalah aktivis dan peneliti Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT)

Komentar