Rinjani
yang membuat aku jatuh cinta pada keindahan gunung, hijaunya padang rumput yang
membentang luas, sejuknya hembusan angin yang mengerakan ujung rambut dan
terangnya sinar marahari yang tak terasa panas ketika memapar kulit, belum lagi
ketika diperjalanan mendaki ketika ku sempatkan menoleh kebelakang nampaklah
bentang alam yang memukau, kabut putih sellau menemani menyusuri jalan setapak
yang penuh dengan belitan akar pahon Casuarina, membuat kesabaran dan ketabahan
diuji untuk sampai ke puncak. Melihat tempat yang lebih indah lagi, dan membuat
ku ingin kembali lagi bercumbu dengan alam pegunungan.
Senja
menyapa kami dengan teduh, menandakan hari esok akan datang. Sang surya
nampak lelah berdiri tegak seharian ini, saatnya bulan menggantikannya untuk
memberi cahaya terang bagi penghuni bumi, walau tak seterang matahari.
Satu bulan lamanya kami merencanakan untuk
melakukan pendakian Gunung ini, Rinjani berdiri gagah di Lombok, Nusa Tenggara
Barat. Gunung tertinggi ke 2 di Indonesia, memiliki tiga rute yang cukup
terkenal untuk didaki hingga ketinggian 3726 mdpl, pertama rute Sembalun, kedua
Rute Senaru dan ketiga Rute Torean.
Gunung Rinjani telah Sembilan kali meletus sejak
tahun 1847 hingga 2004 lalu, dari letusan tersebut terbentuk suatu Kaldera
(bagian yang membentuk danau) yang berisi air, warga setempat menamakannya
danau “Segara Anak”, ia terletak diketinggian (± 2.010 m dpl), dan
memiliki kedalaman ± 230 meter, bentuknya mirip seperti bulan sabit,
luasnya 1.100 Ha, bukan hanya Danau yang terbentuk dari letusan Rinjani, akibat
tektonik vulkaniknya pula yang terus menerus aktif di tengah-tengah Kaldera
tersebut muncul kerucut baru gunung api yang dinamakan Gunung Baru
Jari (± 2.376 mdpl).
Kami berdelapan melakukan perjalanan tersebut, dari
Kota Samarinda Kalimantan Timur, pesawat kami berangkat dari Sepinggan Kota
Balikpapan transit 2 jam di Juanda Kota Surabaya Jawa Timur, dan 1 jam 15 menit
menuju Praya, Lombok NTB. Di
kelompok pendakian, ada tujuh orang laki-laki (Chandradewana Boer, Kahar
Al-bahri, Rustam Fahmi, M. Syoim, Faisal Upe, Roy Ervan dan Danang Sutobudi)
dan satu orang Perempuan (Sarah Agustio), pendakian kami lakukan pada 20 Mei
2014, perjalanan mendaki Gunung Rinjani selama 4 hari 3 malam.
Pagi-pagi basah, kami bersiap menuju kaki gunung
Rinjani dari Desa Masbagik di Lombok Timur, semalam kami menginap di rumah
seorang teman, dia orang Lombok yang lahir dan besar di Desa ini. Mas Jaya
sapaan akrabnya, Ia biasa menerima teman pendaki menginap di rumahnya.
Plecing, makanan khas Lombok yang kami santap saat sarapan pagi itu, sebelum
meninggalkan rumah.
Plecing terbuat dari sayur Kangkung yang di rebus
dan di sajikan bersama dengan sambal cabai dan tomat mentah yang di ulek halus
ditambah dengan sedikit terasi dan bawang merah, kemudian siap disantap.
Rasanya pedas segar, ditambah nikmatnya nasi putih panas dan tahu goreng yang
disuguhkan oleh istri mas Jaya.
Panas terik menyapa bercampur dengan suhu dingin
memeluk sekujur tubuh menemani sepanjang perjalanan kami menyusuri jalan raya
Lombok Timur ke Desa Sembalun Lawang. Sembalun Lawang terletak di kaki gunung
Rinjani dan berdinding hamparan gunung-gunung kecil berselimut hamparan savana
hijau yang kadang hilang tertutup awan, di huni oleh suku adat Lombok yang
sehari-harinya bercoccok tanam. Mereka menanam sayur mayur sebagai mata
pencaharian sehari-hari, Strowbery, Cabai Merah dan Bawang Daun segar dengan
mudah kita temukan di desa ini.
Ada dua desa yang berada di tengah-tengah hamparan
pengunungan Rinjani, Desa Sembalun Bumbung dan Desa Sembalun Lawang, kedua desa
ini merupakan pusat sayur mayur Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bahkan sayur
mayur dari desa ini juga di kirim ke beberapa pulau lain selain Lombok, seperti
Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Mata pencaharian penduduknya bukan hanya dari
bercocok tanam, namun juga sebagain besar menjadi Porter atau Guide untuk para
pendaki. Hanya laki-laki dari desa ini yang berprofesi sebagai Porter jarang
sekali perempuan. Tugas Porter mendampingi dan membawakan sebagian barang
bawaan para pendaki, 200 – 250 ribu rupiah upah perharinya untuk mendaki
Rinjani.
Kami memilih jalur Sembalun untuk pendakian, jalur
ini cukup landai daripada Senaru ketika kita mendaki, namun jarakanya lebih jauh.
Jalur penyesalan julukannya oleh para pendaki. padang savanna akan mengantar
kita hingga ke pos 3, dengan keindahan punggung-punggung gunung berlekuk
berselimut rumput hijau, berlapis panas terik matahari membakar kulit bercampur
dengan hawa sejuk hingga 19 derajat celcius.
Nampak Desa Sembalun Lawang yang terperangkap di
antara gunung-gunung berselimut awan mengepungnya, jika kita menoleh
kebelakang, tampak berdiri gagah sebuah gunung menjulang hingga menyentuh
langit puncaknya, itulah Rinjani, kesanalah tujuan perjalanan kami.
Pos Kesabaran
Ada 5 pos yang akan di lewati melalui rute
Sembalun, pos pertama atau pos I disebut pos Pemantauan, 3 jam lamanya dari
Sembalun Lawang menuju kesini. Selama satu jam perjalanan kami di temani oleh
Hamparan kebun Cabai, wortel dan kacang panjang berbaris rapi ditambah lagi
dengan hembusan angin sejuk dari punggung Rinjani, serta tak kalah hebohnya
kawanan Sapi menambah ramai pendakian.
Jalan landai sedikit berbukit di punggung gunung
dan hutan tropis yang di penuhi dengan rapatnya pohon serta kicauan burung
sahut menyahut menambah sedikit semangat kami. Setelah berjalan cukup jauh
mulai sudah kami bertemu padang savanna yang begitu ramah menyambut kami,
mereka berseragam hijau, berambut ungu, saling bergandeng tangan, tak ada spasi
diantara mereka, mereka lebih dari sejuta tak habis di pandang mata. Tibalah
kami di jembatan pertama, terdapat plang panah penunjuk arah “pos I” kesebelah
kanan jalan menyebrangi jembatan, kami tertipu saat itu, mengira jembatan itu
adalah pos I pos Pemantauan, ternyata salah, 45 menit perjalanan lagi barulah
kami sampai di pos tersebut. Hari semakin tinggi, matahari nampak jauh dibalik
gunung, senja segera datang tapi pos-pos masih jauh dikaki namun dekat di mata.
Akhirnya kami tiba di pos Pemantauan, dengan
berjalan kurang lebih 2 jam 50 menit lebih cepat dari yang kami kira, 15 menit
kami sempatkan untuk beristirahat di pos ini, pos ini berdiri gagah dengan
bangunan tiang dinding dan atap terbuatan dari beton semen.
Tidak ada sumber air di pos ini, hanya ada pondok
beton di kelilingi dengan rumput-rumput hijau bertebaran sejauh mata memandang,
hingga kepuncak gunung hanya ada beeberapa pohon pinus nampak kesepian
berbaris rapi di tengah rumput-rumput hijau. Tinggi pemantauan 1300 m dpl, ,alam
pertama di Rinjani kami habiskan post Tengengean atau pos 2, lokasinya diantara
pos 2 dan 3. Senja merganti malam, kami bergegas mendirikan tenda dan membuat
api, untuk menghangatkan tubuh, memakai jaket dan menggelar matras untuk alas
tidur.
Dua
orang porter yang kami ajak, nampak sibuk memasak makanan untuk makan malam,
api dipijarkan dari batang-batang kayu pinus yang telah mati, mulailah mereka
berdua menanak nasi dan menumis kacang panjang serta mengoreng telur. Air telah
mendidih di panci hitam yang dibawa dari Sembalun Lawang, kopi siap kami seduh.
Setelah makan malam selesai, kami beristirahat. Baju hangat, jaket dan
topi serta sarung tangan dan kaos kaki kami kenakan saat tidur, dibalut dengan
sleeping bad kami tidur dengan tenang setelah lelah berjalan seharian. Suhu
dingin mencapai 10 derajat tak kalah menyelimuti dinginnya malam itu.
Aku
merindukan pagi untuk segera datang, dengan hangat sinarnya menggantikan malam
yang dingin merasuk hingga kesendi. Kami tidak tahan dingin, hingga pagi terasa
lambat datang berkunjung, maklum inikan malam pertama di Rinjani.
Langit
bertabur bintang hingga terlihat sangat cerah malam itu, mereka seperti aliran
air sungai yang mengalir hingga jauh, berkelip-kelip seperti mengedipkan mata,
satu yang paling terang, ia bearda tepat di kepala Rinjani. Suara jangkrik dan
rumput yang bergesekan diterpa angin membuat malam makin damai di punggung
Rinjani. Malam
telah kalah, dia digantikan oleh sang fajar yang muncul di balik
punggung-punggung gunung Rinjani, kabut mulai menjadi butiran air yang jatuh
lembut menyentuh kulit wajahku.
Teh
panas menambah hangatnya pagi pertama kami. Kami bersiap untuk melanjutkan
perjalanan hingga ke Palawangan, Camp terakhir sebelum menuju puncak. Perlahan
kami merubuhkan tenda, melipat baju dan merapikan bahan makanan. Barang-barang
kami masukan kedalam tas, air minum dan makanan kecil kami letakan di kantong
bagian depan, agar mudah mengambilnya ketika kami haus dan lapar.
Palawangan
Palawangan
adalah jalur penuh ujian kesabaran dan ketabahan, porter kami mengingatkan kami
untuk tidak banyak berbicara apalagi mengeluh disepanjang jalur ini. Jika lapar
makan saja, dan jika haus minumlah dengan segera’ ucap mereka. Tidak perlu
harus diungkapkan, keteman-teman jika kalian merasa haus.
Palawangan
merupakan pintu masuk menuju puncak dan danau, jalur ini sangat menanjak,
kemiringannya 60-80 derajat. Tidak sedikit orang yang berhenti di jalur ini,
untuk menarik nafas, makan dan minum.
Disini
adalah wadah bagi pendaki untuk belajar mensyukuri ciptaan tuhan, yang telah
menciptakan alam yang begitu indah hingga tak habis-habisnya untuk dinikmati
oleh mata. Tak kusadari air mataku jatuh membasahi pipi, angin menyapa hingga
dingin kurasakan. Menyaksikan dari Palawangan betapa indah dan sejuknya jika
alam ini benar-benar dijaga dengan baik, dan tidak ada tangan jahil yang
mengeksploitasinya. Maka ia akan tetap indah hingga cucu-cucu kelak
menikmatinya juga.
Jauh
di balik gunung ini, ada satu perusahaan tambang raksasa yang sedang mengeruk
alam secara brutal, PT. Newmont Nusa Tenggara namanya. Perusahaan tambang emas
dan tembaga yang menandatangani kontrak karya pada tahun 1986 dengan pemerintah
RI untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi di wilayah kontrak karya Nusa
Tenggara Barat (NTB). Total investasinya mencapai US$ 1,8 milyar, sejak awal
mula oprasinya djalankan. Tambang seluas 58.000 hektar ini beoprasi penuh sejak
tahun 2000, dengan nama Tambang Batu Hijau. Mengkapling wilayah sebelah barat
daya pulau Sumbawa, Di Kecamatan Sekokang, Kabupaten Sumbawa Barat, Propinsi
NTB. Jarakanya 81 km dari Mataram. PT Newmont Nusa Tenggara merupakan
perusahaan pertambangan yang bekerja sama dengan pemerintah RI dalam rangka
penanaman modal asing, markas induknya PT. NMR, di kenal dengan nama Newmont
Gold Company (NGC), berada di Denver, Colorado. USA. NGC adalah lima produsen
emas dunia. Selain PT. Newmont Nusa Tenggara, di Indonesia juga ada PT. Newmont
Minahasa Raya yang berkegiatan di Messel, Ratatotok kecamatan Ratatotok
Kabupaten Minahasa. PT Newmont Minahasa Raya menandatangani Kontrak Karya
dengan pemerintah RI pada November 1986, melalui surat persetujuan presiden.
Jenis bahan galian yang dijinkan untuk diolahnya adalah emas dan mineral dengan
luas wilayah 527.448 h untuk masa pengolahan selama 30 tahun. Proyek Newmont
juga tersebar di beberapa Negara selain Indonesia yaitu Kazakhtan, Kyrzystan,
Uzbekistan, Peru, Brasilia, Myanmar dan Nevada. Sejak tahun 1996-1997 dampak
dan pencemaran PT. Newmont mulai terjadi, dengan 2000-5000 kubik ton limbah
dibuang keperairan.
Belakangan
hanya PT. Newmont Minahasa Raya saja yang tertangkap dan diekspose
besar-besaran kemedia bahwa telah melakukan penghancuran ekosistem perairan
dengan limbah yang mereka ciptakan dari sisa pencucian emas dengan mercuri. Rinjani masih sangat
asri, damai dan tentram. Sungguh sayang jika keegoisan para pemegang kekusaan
menghancurkannya demi menambah pundi-pundi APBN jika harus mengorbankannya.
Aku
teringat kampungku, Kalimantan merupakan paru-paru dunia, tempat dimana makhluk
hidup berkembang biak memadu kasih dan melahirkan generasi baru. Pohon-pohon
tinggi bertajuk hijau menutupi permukaan tanahnya yang hitam, menjadi rumah
hewan-hewan langka dan anggrek serta sarang burung-burung cantik beraneka warna
hinggap didahannya. Isinya ratusan bukit-bukit kecil, sungai menjadi nadi
kehidupan masyarakatnya, padi ladang tumbuh subur dipanen bersamaan dengan
musim buah-buahan yang lain tiba. Durian, rambutan, cempedak, langsat dan
manggis adalah buah hutan yang bisa dinikmati dengan gratis. Sawah hijau
membentang luas, hasil olahan para transmigran yang setiap kali panen mencapai
8 ton perhektarnya. Kini, Kalimantan terancam dengan datangnya perusahaan
tambang batu bara dan perkebunan sawit yang mengkapling jutaan hektar. Padi
ladang sudah susah tumbuh karena hampir tak ada tanah yang bisa ditanami lagi,
sawah tercemar limbah dan pohon-pohon buah digantikan oleh perkebunan sawit
yang tidak bisa dimakan saat masak, juga tidak gratis.
Kami
tiba di Palawangan, puncak pertama Rinjani, setelah 7 jam berjalan dari
Tengengean, pohon Edelweis menyambut, bunga putih abadinya bermekaran hingga ia
terlihat lebih cantik, mereka berbaris rapi di punggung puncak Palawangan. Hari
masih sore, matahari masih terang, namun kabut telah menyelimuti pegunungan.
Kami berada di ketinggian 2641mdpl dengan suhu mencapai 10 derajat. Tenda kami
dirikan tepat di bawah pos. Porter kami tiba terlebih dahulu dibanding kami,
mereka sibuk menyiapkan air hangat untuk membuat kopi, mencari kayu bakar dan
mengambil air dari sumber air yang ada di dinding Rinjani.
Merekalah
Pendaki Sesungguhnya
Porter
kami sungguh luar biasa, dua bapak paruh baya ini memiliki otot kaki dan tangan
membentuk gunung kecil dibagian tubuhnya, mereka tidak pedek juga tidak tinggi
untuk ukuran orang Lombok kebanyakan. Kulitnya coklat mengkilat, setiap kali
bertutur logat khas Lombok yang mirip seperti orang Bali menghiasi tuturnya.
Merekalah
pendaki sesungguhnya, nampak mudah mendaki ketika aku berjalan bersama mereka,
titik peluh bercucuran jatuh dari dahi. Beban yang dibawa pada bahu terlalu
berat, namun terus dipaksakan hingga membentuk benjolan besar pada bahu, tapi
bukan memar. Ketika turun mereka berlarian, hingga cepat sampai ke bawah
gunung. Pernah sekali ku coba, sialnya aku terjatuh, untung saja kaki ku tidak
patah. Begitupun dengan temanku yang lainnya.
Mereka
tidur dengan jaket dan sleeping bad yang biasa mereka pakai, kulihat sudah
robek dibagian ujung kakinya. Tentu saja dengan mudah angin masuk kedalam
tubuh. Tapi api tak pernah padam untuk menghangatkan tubuh, mereka tidak tidur
didalam tenda bersama kami, mereka tidur di pos, beralaskan tikar, berdiding
terpal untuk menampik angin yang datang kearah pos. sempat ku coba, tai aku
tidak tahan.
Puncak
Rinjani
Pukul
1 tengah malam, kami bersiap menuju puncak Rinjani, gelap gulita. Namun bintang
dan bulan menerangi, walau tak seterang matahari. Teh hangat mengawali
perjalanan malam itu. Jalan menuju puncak berpasir dan berbatu. Kami meniti
pinggir kawah, hingga sampai kepuncak. Bintang terang yang berada dikepala
Rinjani terlihat nampak dekat dengan kepala kami.
Kami
adalah rombongan pertama yang melakukan pendakian kepuncak, tak lama setelah
itu, puluhan turis asing dari berbagai Negara menyusul hingga kami terbalap
oleh mereka. Upe adalah orang pertama malam itu sampai di puncak, selanjutnya
Roi dan tentu saja turis asing yang berkaki panjang itu. Aku menyaksikan sang
surya terbit tepat dipunggung puncak Rinjani. Si kaki panjang telah turun dari
puncak, tapi aku belum saja sampai. Hampir menyerah karena kehabisan air minum,
tapi semangat masih mendorong untuk sampai hingga ke puncak.
Pukul
7 aku tiba dipuncak, menyaksikan keindahan alam dari puncak Rinjani, kulihat di
kejauhan ada kota Mataram, yang nampak sangat kecil, gunung Agung yang terletak
di Bali dan lautan biru yang luas mengelilingi pulau ini. Disinilah jatuh cinta
itu muncul, untuk melihat keindahan dari puncak gunung yang lainnya, sepoi
angin puncak gunung yang meredakan lelahan, melepaskan penat kehidupan di bawah
gunung, dan mimpi ku telah terwujud.
Ku
panjangkan kakiku, untuk duduk di tepinya. Kulihat danau segara anak yang mirip
seperti bulan sabit tepat diujung kakiku, anak gunung Rinjani yang baru juga
telah lahir asapnya mengepul membentuk lingkaran. Jika sedikit saja ada celah
untuk air danau itu keluar dari gunung, maka Lombok akan tenggelam oleh air
dingin danau Segara Anak.
Keindahan dari puncak gunung tidak ternilai harganya, mungkin jika orang menyukai pantai pasti bisa datang kesana kapanpun dan dimanapun saja, Baik bayi hingga orang tua atau siapapun saja. Tapi gunung, hanya mereka yang memiliki ketabahan dan kesabaran lah yang bisa sampai dan menikmatinya, betapa kecilnya kita ketika berada dipuncak dengan kebesaran yang tuhan ciptakan.
Follow Me....!!!
Kami menyediakan Open Trip untuk Mengunjungi Tempat ini.
hubungi kami di :
email : sarahagustio@gmail.com
Line/Wa: 081255567264
Ig : @sarahceae
Komentar
Posting Komentar