Perempuan Di Rumah ku


Usianya 24 saat pertama kali aku bertemu dengannya tahun 1990 lalu. Aku bukannlah yang pertama keluar dari rahimnya, setelah 9 bulan aku tumbuh, berkembang dan diberi ruh, lahirlah aku yang diberi nama Sarah Agustiorini. Dia tidak begitu ingat bagiamana rasanya saat aku berada didalam kandungnya, yang dia paling ingat hanya bapak jarang ada bersamanya saat itu, karena bapak bekerja di hutan pada sebuah perusahaan kayu.

Dan satu hal lagi, ketika hendak melahirkan aku dia merasakan kesakitan yang sangat, selama 4 hari 5 malam, hingga pada Kamis malam Jumat 17 Agustus 1990 aku lahir, orok perempuan seberat 2 kilo 7 ons  tanpa rambut berkulit merah merona hadir di pangkunya. Nama ibuku Siti Zahra, dia pandai sekali memasak makanan kesukaanku. sayur asam keladi, ikan patin bakar dan sambal jeruk cina. Kalau aku tidak mau pulang kerumah saat aku dikota karena sibuk bekerja, maka dia akan menelponku dan bilang kalau dia sudah memasak makanan itu, dan pastilah aku langsung pulang kerumah.

Ayah ibuku atau kakek ku, adalah orang Banjar Martapura, dulu dia sempat menjadi tokoh agama dikampung, sempat beberapa tahun aku bertemu denganya sebelum dia tutup usia. Yang paling aku ingat saat kecil dulu, kakek sering bercerita tentang nabi-nabi dan mu’zijatnya hiingga umurku 4 tahun, kakek meninggal dunia pada tahun 1994 sedih rasanya, hingga kini aku masih sering teringat dia. Lain halnya dengan nenek, nenek baru saja wafat tahun 2009 lalu. Nenek memiliki darah turunan yang sangat beragam, ibunya adalah orang Dayak Kenyah Datah Bilang, ayahnya orang banjar Peringin. Zaman orang tua nenek inilah keluarga besar ibuku beragama Islam.

Ibuku bermata coklat, warnanya mirip sekali dengan lensa mata yang banyak dijual oleh optik-optik , aku kecipratan sedikit darinya. Tubuhnya masih kuat hingga sekarang, dia tidak gemuk, juga tidak kurus, hanya sedikit lemak yang membantal di pinggangnya.  rambutnya selalu saja diikat gulung dengan sebuah ikatan. Kulitnya putih kecoklatan, dia alergi dengan ikan tongkol. Jika dia makan ikan hitam itu, maka mulailah kulitnya gatal-gatal, herocyne obat semacam bedak tabur yang kerap kali dia pakai untuk menghentikan gatal-gatal tersebut. Sejak kecil aku tinggal di Kota Samarinda, tepatnya di sebuah kelurahan yang bernama Sambutan, yang kini menjadi salah satu Kecamatan di Kota Samarinda sejak 2010 lalu.

Sejak kecil ibuku juga tinggal di situ. Karena kami tinggal di Ibu Kota, maka desa-desa berganti nama menjadi kelurahan, namun masih sama saja dengan desa. Nilai dan Hirarki antara desa dan kelurahan mengakar kuat, dan patriarki tentu saja hidup subur tertanam dalam darah keluargaku. Tak bisa dipungkiri, patriarki itu menjarah keluarga kecilku, ibu dan bapak, serta 3 anaknya. Aku mencoba keluar dari wabah itu, aku keluar garis yang di sebut sakral itu, perempuan tidak boleh lebih dari laki-laki dan perempuan tugasnya melayani laki-laki. Sejak Sekolah Menengah Atas aku mulai sering bepergian, menginap dan hampir jarang pulang ke rumah, aku juga ikut olah raga seni bela diri saat itu, pencinta alam dan tak jarang aku dan satu kelompok ku berkelahi dengan kakak kelas kami.

Rumah Kami
Saat aku lahir rumah kami ada di Sambutan Pelita 3, di rumah ini kami tinggal satu keluarga besar di dua rumah kayu beratap daun dan berdinding papan dari kayu kapur, yang ketika hujan turun tak jarang atapnya bocor. Rumah ini di huni oleh kakek dan nenek ku 2 paman ku, satu rumah lagi ibu dan bapak ku serta aku dan Halim adik ku. 

Ibuku lah yang paling menderita ketika kami tinggal disini, dia sering pergi kehutan merabat sayur untuk dijual kepasar, zaman ini adalah zaman saat orde baru berkuasa, krisis moneter melanda, saat tahun 1997 hingga 1998. Dan yang tak bisa aku lupakan juga, saat kebun di belakang rumah kami terbakar karena kebakaran hutan, umurku 7 tahun pada waktu itu, ibuku ketakutan, cepat-cepat dia merapikan baju-baju kami, surat tanah dan perhiasan emas yang ia simpan, jika api sampai menjalar kerumah kami, maka segera bergegas lah kami pergi dari rumah.

Saat itu juga, beredar cerita tentang hantu ratu api yang sedang marah besar hingga membakar kampung, namun tak jelas kabar yang aku dengar kenapa ratu api itu marah. Pelita 3 tempat aku tumbuh, hingga aku kelas 5 Sekolah Dasar, atau tepatnya pada umurku 11 tahun. Aku memiliki tiga orang sahabat perempuan yang menjadi kawan sepermainanku untuk bermain Barbie dan Bepean, boneka-boneka kertas yang mirip Barbie dan berbaju sangat cantik, membuatku ku bermimpi baju-baju itu menjadi nyata sperti di film Cinderela.

Aku mendapatkan baju baru hanya pada saat hari raya saja, baisanya dua buah baju baru untuk di gunakan saat sholat dan berkunjung kerumah keluarga. Selain hari itu jarang atau hampir tidak pernah mendapatkan baju baru lagi. Nenek dan kakek berladang di bagian utara Sambutan, di ladangnya ada sebuah sungai kecil, ikan haruan, ikan yang mirip sekali dengan ular sawah ini menjadi ikan favotir di sungai, selain itu ada belut yang paling aku takuti.

Ladang nenek dan kakek luas, di kelilingi padang ilalang, di bagian selatannya ada kebun mangga kueni, juga kebun jambu air milik tetua tanah di kampung. Aku dan teman-teman sering sekali mencuri jambu-jambu itu ketika ia berbuah, warnanya merah muda, manis dan berair. Mangga kueni berbuah besar-besar kuning dan manis, harumnya bisa membuat air ludah ku dan kawan-kawan menetes. Pohonnya hanya ada 3, namun sangat besar dan buahnya sangat lebat, tak jarang kami berebut dengan tupai dan kera jika kami menginginkan mangga itu. 

Selain itu, ada buah manggis juga kebun tebu yang berbaris rapi memagari ladang, ini pun menjadi sasaran ku dan 4 kawan lelakiku. Mereka lebih suka manggis daripada mangga dan jambu, karena mangga dan jambu lebih berair dan kadang mereka sakit perut jika kebanyakan makan. 

Aku pemanjat yang pandai, belajar dari kawan-kawan lelaki di kampung, tapi ibuku tidak suka aku memanjat, dan kakek ku suka, karena lebih mudah mengambil buah sukun dan sawo jika aku yang memanjat. Badanku kecil dan lincah, pohon sawo bercabang rapat hingga orang tua susah menembus celahnya, dan pohon sukun dahannya begitu rapuh, jika badan kita terlalu berat maka akan patah. Tentu kata bagi kakek pantaslah aku yang memanjatnya. 

Ibu tetap tidak suka memanjat walau apapun alasannya, karena dia takut aku terjatuh dan tulangku patah. Hingga tibalah saat itu, tulang pinggangku bergeser karena terjatuh dari pohon jambu. Ibu tak henti mengeluarkan air mata dari bola matanya yang coklat. Sejak peristiwa itulah aku tidak berani lagi memajat pohon apapun, aku tidak mau ibuku menangis lagi, dan tulang pinggangku bergeser lagi.

Saat aku kelas 6 sekolah dasar, kami pidah ke pelita 4 Kelurahan Sambutan, kedua pamanku juga telah menikah, di dahului dengan wafatnya kakek. Nenek tetap di rumah pelita 3, di temani oleh paman termuda. Di pelita 4 kami mempunyai rumah yang cukup besar, empat kamar besar, satu dapur kecil dan kamar mandi yang hingga sekarang belum selesai. Bapak membeli sebuah truck, dan adik yang paling bungsu lahir Albin Julian Desmonda atau Albin Dewantara.

Di rumah ini sempat ibu dan bapak ingin berpisah karena hanya masalah uang, keluarga kami hampir berantakan, namun syukurlah masih bisa di pertahankan oleh ibu yang selalu mengalah, dan selalu ceroboh dengan uang. Bapak hanya bekerja dan bekerja dengan trucknya, jika dia dapat uang maka segeralah diberikannya kepada ibu. Ibuku tidak pandai memanagemant keuangan ke;uarga kami, yang setiap hari masuk dari penjualan beras, dan dari gajih bapak yang diatas tiga juta.     
    
Bapak tanpa Ibu
Aku bisa mengatakan, kalau bapak ku tidak akan bisa apa-apa tanpa ibuku. Semua kebutuhannya di penuhi oleh ibuku, bapak ku hanya bekerja, pergi pagi lalu kadang tidak pulang ketika di kirim keluar kota, kemudian pulang dan mandi lalu tidur dan makan, oh yaa tidak lupa bersantai dan menonton televisi, serta menggerutu di barengi dengan marah kecil saat makan bersama.

Lalu ibuku, ibuku memasak setiap hari, dia juga menghidupi kami dengan menjual beras yang dibawa oleh bapak, bukan hanya bapak yang menghasilkan uang tapi juga ibuku,  dan selalu saja bermasalah keuangannya hingga saat ini. Ibuku juga berkebun, menanam sayur-sayuran organik yang mahal di pasar, namun gratis untuk kami, ia menanam hanya agar anak-anaknya bebas dari zat racun pestisida dan pupuk yang memaksa batang tumbuhan untuk tumbuh besar, zat-zat itu memaksa mematikan serangga yang juga ingin hidup dan dia juga memaksa serat sayur untuk membesar, dia tidak bagus untuk tubuh kami, ibuku tidak menyukainya, ia tidak suka jika anak-anaknya di paksa untuk tumbuh dan hidup dengan memakan itu.

Kami punya kebun, yang dimiliki oleh teman bapak dan di berikan ke kami, luasnya kurang lebih satu setengah hektar, 30 menit dari rumahku itu lah yang dipelihara ibu dan setiap tahun buah cempedak, rambutan, durian di panen. Ibuku adalah perempuan yang tangguh, dari dia aku belajar bagaimana untuk menghargai tanah, tanah untuk menghidupi anak-anaknya. Ibuku sangat bergantung dengan tanah, tanah untuk berkebun, mendapatkan uang, memberi makan anak-anaknya dengan makanan yang bebas dari racun, dari dia juga aku belajar sabar dan menjaga hubungan keluarga kami agar tetap harmonis, walau sakit hantinya kepada bapak kadang tak tertahankan, hingga lagi air mata dari bola matanya yang coklat mengalir.

Bukan hanya Bapak yang tidak bisa apa-apa tanpa Ibu, tapi juga aku dank e dua adik ku. Halim dan albin, ibulah yang pertama kami panggil ketika sampai di rumah, belum berada di depan pintu kami bertiga sudah memanggilnya, tidak pernah kami memanggil bapak saat kami pulang sekolah atau dari mana pun. Rumah adalah Ibu, dan Ibu adalah rumah bagi kami bertiga.  Aku selalu berdoa agar dia tetap sehat dan memiliki umur yang lebih panjang dari pada ujung langit, agar dia lebih bahagia daripada bahagianya Jokowi yang terpilih menjadi presiden ke 7 indonesia, 21 Agustus 2014 lalu. 


Ibu lahir 7 mei 1966, dan bapak 10 februari 1960

Komentar