Sumbing namanya, orangutan jantan pertama yang ku temui saat menginjakan kaki di
Privab, salah satu site Penelitian
milik Taman Nasional Kutai TNK. Dao nampaknya sedang sangat asyik menikmati
makan malamnya buah Sengkuang. Tak lama setelah aku mengamati, ia tertidur
pulas di pohon Sengkuang (Dracontomelon
dao).
Hampir
tepat pukul 18.35 wita, ia tertidur di sarang yang terbuat dari daun dan dahan
pohon Sengkuang. ”Ada 26 orangutan di Privab yang pernah saya ikuti selama 8
tahun terakhir ini”, tutur Dedi. Dedi merupakan salah satu pengamat
orangutan di Privab. Usianya kini 26 tahun.
Ia bersama pria yang akrab disapa ” Linggis” seolah tak bosan mengamati
orangutan.
Dedi
dan Linggis bekerja sebagai asisten Peneliti lapang Anne Russon, yang sejak
tahun 2010 melakukan penelitian mengenai orangutan di Taman Nasional Kutai.
”Ini lagi musim Sengkuang, lagi mudah-mudahnya melihat orangutan disini”
tambahnya.
Di
Privab, banyak berdiri kokoh pohon Sengkuang. Dalam lima puluh meter berjalan
lurus kita bisa temukan 7 sampi 10 tegakan pohon Sengkuang. Belum lagi kelompok
Zingiber yang biasa dikonsumsi
orangutan untuk pengganti minuman, jumlahnya sangat banyak dan rapat. Peneliti
kerap menyebutnya ”Kedapat” dari
Kelompok Marga Alfinia. Tak heran,
kita mudah bertemu orangutan, karena Prevab seolah menjadi ”dapur” bagi mereka.
”Ada
dua site penelitian orangutan di Taman Nasional Kutai, yaitu Site Privab dan
Site Mentoko”, tuturnya. ”Tapi ya saya kan tugasnya Privab aja, jadi tidak
begitu tahu tentang keadaan site di Mentoko. Tapi kata teman-teman yang
mengamati disana sih, susah ketemu orangutan, tidak seperti di Privab,” tambah
Dedi sambil mengamati si Sumbing. Dalam
catatan Taman Nasional Kutai, terdapat setidaknya 2 ribu individu orangutan
yang terdapat di Taman Nasional Kutai. Data tersebut didapatkan dengan cara
menghitung jumlah sarang yang terdapat di kawasan Taman Nasional.
Tapi
jika jumlahnya benar 2 ribu, tentunya tidak sulit melihat orangutan di TNK. Tak
perlu masuk ke Privab atau masuk ke dalam hutan TNK untuk bisa melihat satwa
yang mirip dengan manusia itu. Cukup melakukan observasi di jalan poros provinsi
kaltim (Bontang-Sangata) yang membelah kawasan TNK.
Angka
2.000 individu orangutan di TNK barangkali mencengangkan. Namun, ada sejumlah
indikasi fakta yang bisa mendukung data itu. Beberapa tahun terakhir banyak
orangutan yang ditemukan mati terbunuh. Mereka tewas karena masuk areal kebun
atau perusahaan atau areal pemukiman masyarakat. Kebun atau pemukiman yang
dulunya merupakan ”rumah” orangutan bisa jadi ”kuburan” orangutan.
Penelitian
orangutan di Taman Nasional Kutai sudah dilakukan sejak tahun 1970-1971 oleh
Roman’s di Site Mentoko. Dilanjutkan oleh peneliti asing lainnya, diantaranya
Leighton, Mitani, Suzuki dan Campbell,
di site Mentoko di tahun 1980-an. Hasil penelitian tersebut menjadi
kunci mempelajari pola hidup orangutan di alam liar. Taman Nasional Kutai
merupakan lokasi pertama di Indonesia yang dijadikan lokasi penelitian
orangutan di alam liar. ”Disini
kita dapat melihat bagiamana perilaku orangutan di habitat aslinya,” tutur
Anne, sang Peneliti orangutan.
Taman
Nasional Kutai memiliki catatan sejarah panjang tentang kawasan dan orangutan.
Hingga kini usianya kurang lebih 83 tahun. Kawasan yang pada mulanya diusulkan
sebagai hutan persediaan seluas 2 juta hektare (ha) oleh Ir. H Witcamp, seorang
ahli pertambangan Belanda pada tahun 1932. Usulan Witcamp kepada Sultan Kutai
waktu itu tidak diamini sepenuhnya. Sultan Kutai menetapkan kawasan hutan itu
sebagai Suaka Margasatwa dengan luas 306.000 ha. Kurang dari setengah luasan
hutan yang diusulan Witcamp. Puluhan tahun sejak ditetapkan, ada sebelas
kebijakan pemerintah Indonesia yang dikeluarkan terkait dengan tata kelola
Taman Nasional Kutai.
Dari
sebelas kebijakan itu, empat diantaranya merugikan kepentingan konservasi,
karena luas kawasan hutan tergerus oleh kepentingan pelipat gandaan modal.
Empat kebijakan tidak pro konservasi itu dikeluarkan tahun 1969, 1973, 1991,
dan 1997. Akibatnya, di tahun 1997,
kawasan TNK hanya tersisa 198.604 ha.
Keanekaragaman Hayati di
Taman Nasional Kutai
Sungai
Sangatta tak lagi sebening 15 tahun lalu. Kini warnanya kuning kecoklatan
akibat sedimentasi. Tak jarang buaya-buaya remaja berjemur di tepi. Sedimentasi di Sungai Sanggatta adalah
niscaya, karena di hulunya terdapat perusahaan tambang batubara, PT Kaltim
Prima Coal, yang menghilangkan fungsi hutan sebagai peredam sedimentasi.
Setidaknya,
ada dua belas sungai yang mengalir di kawasan Taman Nasional Kutai.
Sungai-sungai inilah yang menjadi tumpuan kehidupan ekosistem TNK. Tak
heran, flora dan fauna di TNK sangat
beragam, karena sungai menjalankan tugas dengan baik sebagai penyedia sumber
kehidupan aneka satwa dan tumbuhan. Dari
hasil penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Kutai, kawasan yang merupakan
kawasan hutan hujan tropis dataran rendah ini memiliki beragam potensi flora
dengan jumlah mencapai 958 jenis.
Delapan
dari sepuluh marga dari suku Dipterocarpaceae
yang tumbuh di dunia tumbuh di taman nasional kutai, yaitu Anisoptera, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hope, Parashorea,
Shorea dan Vatica. Selain itu,
220 diantara jenis flora tersebut merupakan jenis yang biasa digunakan oleh
masyakarat sebagai bahan obat-obatan herbal. Eurycoma longifolia atau Pasak Bumi, salah satu tumbuhan obat yang paling diburu oleh pencari obat keperkasaan.
Akar dari tumbuhan ini diduga memiliki khasiat dapat meningkatkan stamina
lelaki, pemulih stamina yang mulai menurun, obat sakit pinggang dan malaria.
Sejumlah
pengunjung yang masuk ke kawasan TNK kerap mengambil pasak bumi. Jika mereka
sadar dan paham akan status kawasan konservasi, tentunya mereka tidak akan
mencabut tumbuhan tersebut lalu membawanya pulang sebagai buah tangan.
Membiarkan mereka hidup di alam, lebih baik daripada harus menjadikannya
oleh-oleh. Dan kelak jika dicabut terus-menurus maka ia akan habis, dan tak
kita temukan lagi bentuk morfologinya seperti apa di alam ini.
Tata
air alami itu membuat Taman Nasional Kutai menjadi ekosistem hutan hujan tropis
dataran rendah, yang didominasi hutan ulin Eusyderoxilon
zwagery, Meranti (Shorea sp.),
dan Kapur (Dryobalanops aromatika).
Membuat kawasan ini menjadi paling unik di Kaltim.
Tegakan
pohon ulin yang sangat rapat di Hutan Konservasi Kaltim hanya bisa ditemukan di
kawasan TNK. Di jalur ekowisata Sangkima misalnya, pengunjung bisa menemukan
barisan pohon Ulin yang tumbuh rapat. Tegakan dua meter hingga 60 meter tumbuh
subur disini. Begitu pun jika pengunjung masuk ke hutan yang lebih dalam. Dapat
ditemukan, sekitar 20 sampai 23 individu pohon
besi yang berdiri kokoh dalam petak sepuluh kali sepuluh meter. Keberadaan
Ulin di TNK tidak hanya membawa berkah, tetapi menjadi persoalan tersendiri.
Karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, Ulin menjadi buruan pembalak liar.
Harga Ulin atau iron woods, per kubik
berkisar antara Rp 4 juta sampai Rp 5 juta di Sangatta. Dijual dalam bentuk
balok maupun papan. Wajar, jika kasus pencurian kayu Ulin di dalam kawasan TNK
sangat tinggi.
Selain
pohon Ulin, pohon Sengkuang atau Dracontomelon
dao juga banyak tumbuh disini. Itulah mengapa juga banyak ditemukan
orangutan di kawasan taman nasional kutai. Sengkuang merupakan salah satu pakan
kesukaan orangutan. Pohon dari kelompok suku Anacardiaceae ini memiliki rasa buah yang unik. Buah sebesar
kelereng dengan rasa asam dan sedikit manis selalu menarik orangutan untuk
datang menyantapnya.
Masa
Kritis Di Taman Nasional Kutai
Puluhan
kilometer dari Privab, terdapat hutan sekunder tua yang sudah sangat rapat dan
pepohonan menjulang tinggi ke langit, canopi yang rapat membentuk atap hingga
cahaya matahari sulit untuk menembusnya sampai ke lantai hutan. Kondisi yang
sangat jauh berbeda dengan site
penelitian TNK yang berada di jalan poros Bontang-Sangata. Dua jam perjalanan
melintasi kawasan Taman Nasional Kutai melalui jalan poros tersebut, hanya
tegakan pohon kering tak berdaun yang kita lihat.
Kondisi
hutan disini sedang kritis, kekurangan air dan habis terbakar. Hanya beberapa
liana saja yang berdaun hijau, setelah 4 kali diguyur hujan bulan Mei lalu. Ada
dua resort yang bekerja untuk memantau kawasan Taman Nasional di jalan poros
tersebut, yaitu Resort Teluk Pandan dan Resort Sangkima.
Kanan
kiri jalan poros ini tak lagi nampak seperti Kawasan Taman Nasional, yang mana
masyakat sangat dilarang melakukan aktivitas apapun di dalamnya, sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Untuk soal ini, Taman Nasional Kutai juga
berbeda dengan Taman Nasional lain di Indonesia. Ada beberapa periode okupasi
yang dilakukan oleh perusahaan dan masyarakat untuk mendapatkan wilayah
konservasi ini.
Berkat
”perjuangan” dengan berbagai cara, mereka akhirnya mendapatkan tanah di kawasan
TNK. Baik secara ilegal maupun legal. Pemerintah kalah dengan desakan, karena
tidak serius mengurusi kawasan konservasi.
Akses pemanfaatan hutan dibuka, hingga hutan hancur porak poranda.
Semua
dimulai sejak tahun 1969. Saat itu, sekitar 100.000 hektar kawasan pantai
sebelah timur dikeluarkan dari Suaka Margasatwa untuk kepentingan eksplorasi
minyak Pertamina yang hingga saat ini bermukim dan menguasai daerah tersebut.
Pertamina memproduksi minyak di areal taman nasional dan menggunakan kawasan
tersebut untuk menjadi home base
mereka. Ada aktifitas 24 jam yang terjadi di dalam taman nasional. Dari
aktifitas tersebut tumbuhan dan satwa yang dilindungi disekitarnya pasti
terkena dampaknya.
Sayangnya
bukan hanya Pertamina yang mendapatkan akses tersebut. Beberapa perusahaan
besar seperti perusahaan HPH Kayu Mas, PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim, juga
kebagian jatah. Mereka mendapatkan 106.000 hektare (ha) dari kawasan pesisir di
bagian selatan Taman Nasional Kutai pada, tahun 1973.
Kebijakan-kebijakan
tersebut keluar ketika, status Taman Nasional Kutai masih sebagai Suaka
Margasatwa dan ditandatangani oleh Menteri Pertanian saat itu. Tahun 1982
setelah mengikuti Kongres Taman Nasional Dunia, kawasan ini dicalonkan sebagai
Taman Nasional dengan luas 200.000 ha. Di tahun yang sama, kebakaran besar
terjadi di Hutan Kalimantan. Kurang lebih 3,5 juta ha hutan terbakar. Saat itu,
sekitar setengah dari kawasan Suaka Margasatwa Kutai ikut terbakar.
Di
tahun 1991, ”penguasa hutan” kemudian berganti. Setelah sebelumnya di tangan
Menteri Pertanian, berikutnya Menteri Kehutanan yang memegang kendali. Seluas
1.371 ha kawasan konservasi ini dilepaskan lagi untuk perluasan Kota Bontang
dan juga untuk ekspansi PT Pupuk Kaltim[1].
Akhirnya,
di tahun 1995, kawasan konservasi terluas di Provinsi Kaltim ini resmi
menyandang status Taman Nasional, setelah 13 tahun mengajukan diri dan tentu
saja setelah berkali pengurangan luasan kawasan hutan. Sebenarnya, luas kawasan
tak jadi persoalan, sepanjang ada konsistensi pemerintah untuk benar-benar
menganggap kawasan ini sebagai daerah konservasi, daerah yang haram diakses
oleh pihak manapun untuk kepetingan pelipatgandaan modal.
Tidak
berhenti disitu.
Tahun
1990 menjadi masa sulit bagi kawasan ini, karena Menteri Pekerjaan Umum
mendapat persetujuan prinsip rencana pembangunan Jalan Bontang – Sangatta –
Muara Lembak yang melintasi Suaka Margasatwa Kutai dengan surat persetujuan
dari Menteri Kehutanan Nomor 70/Menhut- VI/1990 tanggal 7 Februari 1990.
Tujuannya untuk menghubungkan akses jalan di Provinsi Kaltim.
Setahun
kemudian, ditandatangani kesepakatan Pinjam Pakai Kawasan antara Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehutanan dengan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pekerjaan
Umum Propinsi Kalimantan Timur dengan Surat
Nomor: 19/Menhut-II/1991 tanggal 7 Januari 1991. Jalan Bontang –
Sangatta akhirnya membelah TNK. Enam tahun setelah pembangunan jalan tersebut,
Gubernur Kalimantan Timur menetapkan 3 desa dalam kawasan TNK sebagai desa
definitive.
Tiga
Desa itu antara lain, Teluk Pandan, Sangkima dan Sangata Selatan, yang dibentuk
berdasarkan Surat Keputusan No. 06 Tahun 1997 tanggal 30 April 1997. Mulai saat
itu, semua orang boleh mengakses kawasan konservasi. Dua tahun kemudian, tahun
1999, Gubernur Kaltim memekarkan lagi desa Sangata Selatan menjadi Singa Geweh
dan Sangatta Selatan. Tak cukup membuka akses pemukiman di kawasan taman
nasional, Bupati Kutim mengikuti jejak seniornya di tahun 2005. Di tahun itu, Bupati menetapkan 3 desa dalam
kawasan TNK yang masuk wilayah Kecamatan Teluk Pandan. Ketiganya adalah Desa Kandolo, Martadinata,
dan Teluk Singkama dengan total luas 12.403 ha.
Tak
heran jika di dalam kawasan TNK terdapat fasilitas lengkap, mulai dari tempat
ibadah, sekolah, puskesmas, ruko, pasar hingga SPBU milik Pertamina pun ada di
dalamnya. Bahkan puluhan hektare kebun sawit dan karet tumbuh subur dengan
jarak sekitar 500 meter dari tepi jalan. Seakan plang-plang larangan milik TNK
sepanjang jalan poros tersebut hanya papan iklan. Tak satupun orang yang
mengindakannya. Toh tak ada tindakan
tegas dari pihak yang berwenang, ketika mereka membangun dan berkebun di
kawasan tersebut, karena mereka ”dilegalkan” oleh pemerintah.
Awalnya
semua akses yang merelakan pemakaian kawasan konservasi ini hanya diberikan
kepada perusahaan. Belakangan, masyarakat yang bergantung pada hutan, juga akan
menuntut hak yang sama untuk mendapatkan
bagian dari kawasan konservasi ini. Bukan karena mereka tak tahu status kawasan
ini. Namun ada janji dari calon kepala daerah, yang harus ditagih ketika
terpilih.
Pengurangan
kawasan untuk kepentingan ekploitasi sumber daya alam, ijin pinjam pakai
kawasan hutan, dan pelepasan kawasan untuk ekspansi modal serta perluasan kota
merupakan tiga masalah kritis yang dihadapi oleh Taman Nasional Kutai, selain
kebakaran karena el-nino.
Persoalan
kritis yang sebenarnya disebabkan oleh kebijakan pemerintah akan tentang tata
kelola kawasan konservasi. Pemerintah seolah serius jika urusan hutan hanya
soal konservasi. Karena nilai uang konservasi dianggap terlampau kecil
dibanding memberikan akses pada pemodal untuk berinvestasi.
Setiap
meter pengurangan lahan yang dilakukan oleh pemerintah dikawasan TNK menyisakan
kehilangan ekosistem, populasi dan jenis tumbuhan serta satwa yang terdapat
didalamnya. Padahal tujuan utama dari pembentukan kawasan konservasi ini untuk
melindungi empat hal tersebut. Menyelamatkan mereka agar tetap hidup menjaga
keseimbangan di muka bumi.
Kekacauan
Di Kawasan Hutan Konservasi
Berdasarkan
data JATAM KALTIM yang berasal dari Korsup KPK, ada sekitar 40 IUP (Ijin Usaha
Pertambangan) Dan PKP2B yang berada pada kawasan konservasi seluas 97. 756,13
hektar, 107 IUP dan PKP2B bearda pada kawasan Hutan Lindung seluas 139.266,05
hektar dan 42 IUP berada di Kawasan Konservasi Tahura Bukit Soeharto.
Sebenarnya
Undang-undang Kehutanan No 41 tahun 1999, secara jelas melarang menambang
dengan metode terbuka di hutan lindung. Namun, karena desakan pelaku
pertambangan yang mau menambang dengan biaya lebih murah dan menggunakan metode
pertambangan terbuka, Megawati yang pada saat itu menjabat sebagai presiden RI
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1 tahun
2004 tentang Perubahan atas UU Kehutanan No 41 tahun 1999.
Perpu
yang biasanya dikeluarkan saat negara dalam keadaan darurat ini, memungkinkan
hampir 1 juta ha kawasan lindung dialih fungsi menjadi kawasan tambang,
termasuk kawasan lindung di Kaltim. Hingga akhirnya praktek jual murah hutan
terus berlanjut sampai saat ini. Komodifikasi hutan di masa presiden SBY makin
parah. Jual murah hutan obral sampai habis. Tahun 2008, SBY mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) No 2. PP ini mengatur jenis dan tarif penerimaan
negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Peraturan
Pemerintah ini memungkinkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung
dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan membayar Rp
1,8 juta-Rp 3 juta per hektar, dan bisa lebih murah lagi jika membukanya untuk
tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repeater
telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, tenaga listrik,
instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Tarif
untuk semua itu menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta. Bayangkan, hutan hanya
dihargai Rp 120 – Rp 300 per meter, lebih murah dibandingkan dengan permen
lollipop.
Wajar
saja, kawasan konservasi di kaltim carut marut penuh dengan usaha industri ekstraktif.
Karena hampir setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak berpihak pada
penyelamatan hutan. Hanya slogan “Menyelamatkan hutan”. Segala cara mereka
legalkan untuk merusak hutan, demi memuaskan nafsu pelaku usaha menanamkan
investasi di dalam kawasan hutan. Tak peduli nilai penting dan genting yang
hilang dari kawasan hutan.
Samarinda,
6 juni 2016.
Tulisan
ini pernah di publish oleh Kliksangata : Ongkos mahal menjaga hutan
Kami menyediakan Open Trip untuk Mengunjungi Tempat ini.
hubungi kami di :
email : sarahagustio@gmail.com
Line/Wa: 081255567264
Ig : @sarahceae
Komentar
Posting Komentar