Ongkos Mahal Menjaga Hutan : Potret Pengelolaan Kawasan Konservasi Hutan Lindung Sungai Wain


Menjadi penjaga hutan itu tak mudah. Apalagi hutan yang dijaga berada di tengah kepungan industri ekstraktif tambang batubara, pembalakan, kebakaran dan pencurian, serta perambahan hutan.

Hutan Lindung Sungai Wain misalnya. Kawasan konservasi yang terletak di Kota Balikpapan, memiliki 24 orang tenaga pengamanan dan patroli hutan. Tugas mereka mengamankan kurang lebih 9 ribu hektare (ha) areal hutan dari pencurian kayu, kebakaran, pertambangan, perburuan satwa dan gangguan lainnya. Dua bulan lalu mereka menangkap enam orang pria asal Kalimantan Selatan yang diduga mencuri tujuh batang pohon gaharu (Aquilaria malacensis) di dalam hutan. Para pengambil gaharu tersebut, mulai disidang, sejak 26 April 2016.  Hingga saat ini belum ada putusan atas tuduhan pencurian tersebut. Malang nasib mereka, berniat memanfaatkan hasil hutan malah tertangkap dengan tuduhan mencuri dan merusak hutan lindung.


Muhalir atau Ulir, salah satu penjaga hutan di Hutan Lindung Sungai Wain. Dia lahir dan besar di Desa Wain, Kota Balikpapan. Desa yang terletak di pinggir Hutan Lindung Sungai Wain. Ayah Ulir seorang penjaga hutan. Begitu juga dengan sepupu dan pamannya. Ulir yang kini berusia 31 tahun, mulai ikut jejak sang ayah sejak usianya masih 15 tahun. 
 
Jauh sebelum Ulir lahir dan menjadi penjaga hutan, hutan lindung yang  secara administratif terletak di Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara dan Kelurahan Kariangau Kecamatan Balikpapan Barat Kota Balikpapan, Propinsi Kalimantan Timur ini, dikenal sebagai “Hutan Tutupan”.

Hutan Tutupan ditetapkan oleh Sultan Kutai pada tahun 1934 dengan Surat Keputusan Pemerintah Kerajaan Kutai No. 48/23-ZB-1934, seluas 10.025 ha. Kesultanan Kutai waktu itu berharap, hutan ini kelak mampu menjalankan fungsi sebagai pemasok air bersih bersih untuk masyakarat. Empat puluh sembilan tahun berlalu. Tahun 1983, Menteri Pertanian menerbitkan Surat Keputusan tentang penetapan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Wain seluas 6.100 ha. Inilah tonggak keberadaan Hutan Lindung Sungai Wain secara formal.

Disusul lima tahun kemudian, tahun 1988, Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan mengenai kawasan DAS Bugis seluas 3.925 ha. Dua Kawasan DAS dengan total luas 10.025 ha ini, secara formal masuk dalam  satu kawasan yang disebut Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW).

Tujuh tahun setelah DAS Bugis ditetapkan, Menteri Kehutanan menerbitkan lagi surat keputusan bernomor: 416/kpts-II/1995 tentang revisi tata batas HLSW. Sayangnya, revisi ini merubah luasan HLSW dari 10.025 ha menjadi 9.782 ha. Hutan warisan dari Sultan Kutai hilang seluas 243 ha.  Seolah tak henti mengganggu hutan warisan Sultan Kutai, Pemerintah kembali menerbitkan revisi luasan HLSW.

Pada tahun 2006, Menteri Kehutanan kembali mengeluarkan Surat keputusan mengenai penunjukan lokasi Kebun Raya Balikpapan seluas 290 ha, di kawasan HLSW. Selanjutnya di tahun 2011, Menhut kembali mengurangi luasan HLSW, dengan menyerahkan 1.400 ha untuk Areal Kerja Hutan Kemasyarakan (HKm). Dari sekian kali pengurangan luasan itu, hutan warisan tinggal 8.038 ha, berkurang sekitar 20 persen dari luas 10.025 ha.  

Kicau Trogon dan Pitta
Ulir dan 23 pria penjaga HLSW, merupakan turunan ketiga etnis Paser yang bermukim di Desa Wain. Kawan hutan yang kian tergerus dengan kebijakan, menjadi alarm bagi mereka untuk mempertahankan apa yang masih tersisa. Mereka berikrar menjaga hutan di halaman rumah. Belantara yang setiap pagi menyuguhkan kicauan burung Trogon, dan Pitta, Satwa yang turut melengkapi keindahan alam HLSW.

Ulir tak tahu sampai kapan burung Trogon dan Pitta masih boleh berkicau. Pencuri Gaharu dan pemburu satwa mungkin masih bisa mereka tangkap dan giring ke meja hijau. Namun, bagaimana dengan kebijakan yang terus menerus dikeluarkan oleh pemerintah yang bisa lebih merusak, dibanding kerusakan yang disebabkan pemburu dan pencuri?

Ulir dan teman-temannya tak bisa meredam pengurangan luasan HLSW yang keluar dari ”titah” penguasa. Sebagai penjaga yang jauh dari kesan ”penguasa” hutan, Ulir melakukan patroli siang dan malam untuk mempertahankan hutan warisan itu. Pemerintah semestinya belajar banyak dari Ulir, dkk. Mereka menjaga hutan dengan tulus, tampa embel-embel fulus. Tidak seperti kebanyakan kedok perlindungan  hutan yang bermotif ekonomi.

“Kami lahir dan besar di lingkungan hutan ini. Masa hutan kami mau direlakan untuk dijarah orang luar, dicuri kayunya, apalagi sampai rusak isi dalamnya” tutur Ulir, saat kami di berjalan di dalam hutan lindung.

Ada ketenangan yang tak bisa dibeli dan dijual ketika berada di bawah tajuk pohon-pohon yang menjulang tinggi. Ada warna dan bentuk kehidupan lain yang hanya bisa ditemukan di rapatnya pepohonan di hutan, bukan di rapatnya gedung perkantoran kota. Ada oksigen gratis yang hingga saat ini masih bisa dinikmati dari daun-daun hijau yang menempel di ranting pepohonan HLSW. 

Kutukan Waduk Wain
Air merupakan alasan utama mengapa kita harus menjaga hutan. Hutan mengatur ritme tata air agar harmoni. Air hujan diserap dan kemudian dilepas perlahan dengan cara alami. Akar-akar pohon menjadi spons ketika hujan turun. Di hilir DAS Wain dan DAS Bugis terdapat sebuah penampungan air yang berbentuk kolam besar.


Mereka menyebutnya Waduk Wain, karena letaknya berada di tapal batas Hutan Lindung Sungai Wain, dan bersumber dari produksi air Hutan Lindung Sungai Wain. Selain sumber air bersih, hutan sekitar Waduk Wain juga menjadi taman bermain bagi monyet ekor panjang dan bekantan ketika sore tiba. Tak jarang terlihat dua hingga tiga ekor buaya penghuni Waduk Wain menanti mereka jatuh ke dalam waduk, kemudian menayantapnya untuk menu makan malam.

”Penghuni Waduk Wain bukan hanya buaya, tapi juga ikan, seperti ikan mas, nila, patin, lele dan kadang ada belut juga, yang kebetulan tersangkut dimata pancing,” tutur Agus yang biasa memancing di Waduk. Waduk Wain punya sejarah panjang. Dibangun tahun 1947 oleh perusahaan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) seluas 0,7 ha, Waduk Wain selanjutnya dioperasikan oleh perusahaan minyak SHELL, pada tahun 1969. Pertamina kemudian mengambil alih pengelolaan waduk tersebut pada tahun 1972 hingga saat ini. Oleh Pertamina, waduk ini diperluas 3 kali lipat dari luasan awal. Dari 0,7 ha menjadi 3,1 ha.

Pertamina mengelola Waduk Wain sebagai sumber air, untuk mensuplai kebutuhan pengolahan minyak dan kebutuhan sehari-hari kawasan perumahan dan pabrik Pertamina. Proyek pengembangan waduk wain berlangsung kurang lebih dua tahun, mulai 1972 hingga 1974. Pada tahun 1974, Pertamina sempat merelokasi 50 kepala keluarga komunitas etnis Paser yang tinggal di sepanjang bantaran DAS Bugis untuk keluar dari kampong. 

Dengan alasan, kelak mereka yang tinggal di bantaran DAS dapat menggangu ketersedian sumber air Waduk. Mereka khawatir komunitas itu membuka hutan untuk berladang.  50 kepala keluarga tersebut dipindahkan ke kawasan lain yang jauh ke hilir DAS Bugis, sebuah desa yang kemudian diberi nama Desa Wain, terletak di hilir Waduk Wain. Ibu Ulir, salah satu anggota keluarga yang dipindahkan oleh Pertamina. Dia masih anak-anak kala itu.

“Ada sebuah rumah kecil dari kayu yang dibangunkan oleh Pertamina, model Joglo namanya”, tutur Agus. “Tidak besar, tapi saya lupa ukurannya berapa. Tidak seperti fasilitas transmigran juga, cuma dipindahkan saja oleh Pertamina. Dengan janji, Pertamina akan memberi hidup yang layak daripada di dalam hutan waktu dulu.,” tambahnya.  

Para warga yang pindah ke desa ini dipersilahkan membuka ladang yang kemudian menjadi hak milik. Dengan syaratl, mereka dilarang membuka ladang di hutan lindung  yang terdapat di depan rumah mereka saat ini. 

“Saat disuruh pindah dulu, kebun kami diganti tanam tumbuhnya, tapi hanya untuk buah-buahan aja, ah tidak besar juga bayarannya”, tutur Ulir.




Pertamina sangat untung mengambil alih pengelolaan Waduk Wain itu. Mereka mampu berhemat miliaran rupiah tiap tahun, dan terbebas dari ongkos membayar air bersih.  Air waduk yang dimanfaatkan oleh Pertamina, sebesar ± 15.000 m3/hari atau setara dengan 26 persen kebutuhan air bersih masyarakat Balikpapan. Dari pemanfaatan air Waduk Wain, pertamina mampu berhemat Rp 43,362 miliar per tahun. Sayang sekali warga yang tinggal di sekitar Waduk Wain tak pernah benar-benar menikmati air dari hasil hutan yang mereka jaga siang malam itu. Air dari Waduk Wain sebelum digunakan untuk kebutuhan Pertamina, dimurnikan hingga benar-benar  bersih, tak berwarna ataupun berbau.

Berbeda sekali dengan air yang disalurkan ke Desa Wain. Air kerap masih berwarna kekuningan, dan kadang berbau. Air juga tak mengalir setiap saat. Padahal, mereka lah yang menjaga hutan.

Memburu Pemburu
“Awas, terinjak bom Babi”. Peringatan yang selalu keluar dari mulut para penjaga hutan ketika berpatroli mengitari tapal batas hutan lindung Sungai Wain. Sekali atau dua kali sempat pula kami dengar letusan peluru dari senapan para pemburu. Entah mereka berburu babi atau rusa. Kadang juga kami temukan tas atau topi yang tertinggal, bahkan kami sempat menemukan hewan hasil buruan yang belum dibawa pulang oleh pemburu. Weekend adalah saat yang paling ramai berburu. Pemburu, yang sudah pasti tidak mengantongi izin, berbondong menyerbu hutan. 

Aktifitas berburu ini meningkat sejak pemerintah KalimantanTimur memutuskan untuk membuka akses jalan ke pelabuhan Kariangau yang melewati tepi hutan lindung sungai wain, pada tahun 2011.
Bukan hanya jalan, namun ijin usaha pertambangan batubara diberikan kepada PT Singlurus Pratama Coal, tahun 1997. Sebenarnya wilayah hutan lindung ini memang terancam sejak dulu. Bahkan jauh sebelum akses jalan kariangau dibuka atau ijin tambang diberikan. Posisinya terancam sejak jalan poros Balikpapan-Samarinda terbuka. Namun, ancaman itu tak setinggi saat kedua akses Jalan Kariangau dan Tambang Batubara diberikan.

Jika pemerintah benar-benar serius mengurus kawasan hutan lindung, maka semestinya dua aktivitas itu tidak mendapat restu.  Apalagi ijin jalan dan tambang tersebut mengitari hutan lindung yang sedari awal sudah terancam. Hal itu mungkin tak pernah terpikirkan oleh Pemerintah Kalimantan Timur. Semua akses yang menguntungkan demi menambah pundi-pundi daerah terus saja dibuka, tanpa mengingat kawasan lainnya. 

Kondisi HLSW kian parah di tahun 2011, setelah Menteri Kehutanan mengeluarkan kebijakan untuk mengambil 1.400 ha HLSW untuk kepentingan  hutan kemasyakatan (HKm). Kawasan hutan lindung terpaksa direlakan untuk pemukiman penduduk dan kebun yang letaknya di pinggir jalan poros Balikpapan-Samarinda. Mereka yang datang menghuni kawasan lindung ini bukan transmigran, apalagi penduduk Kaltim. Mereka datang kemudian mendirikan bangunan, lalu berjualan dengan mendirikan toko sembari berkebun.

Tanpa ijin, pemerintah tak berani menggubris. Mungkin kehadiran mereka dianggap menguntungkan pemerintah. Bagi warga Desa Wain, mereka yang masuk tanpa ijin, lalu diberi ruang mengelola hutan, adalah perambah hutan sesungguhnya. Inilah logika keadilan yang keliru di negeri ini. Sebelumnya, di tahun 1974, warga Desa Wain dikeluarkan dari HLSW karena dianggap perambah hutan, dan mengancam proyek strategis pemerintah.

Tapi disisi lain, setelah tahun 2011, warga yang berada di luar HLSW malah diberikan ”karpet merah” untuk masuk menggarap hutan lindung atas nama Hutan Kemasyarakatan (HKm). Mungkin, karena warga Desa Wain yang dulu hidup di DAS Bugis tidak memberikan keuntungan, bahkan mungkin akan memberikan kerugian bagi pemilik modal-  mereka harus disingkirkan. Padahal menyingkirkan mereka dari hutan, sama saja dengan merebut kehidupan mereka.


Dilema Kebun Raya
Lain halnya dengan pembangunan Kebun Raya Balikpapan, yang rencananya akan menjadi wadah penelitian dan pusat pengenalan berbagai macam jenis tumbuhan. Kebun Raya Balikpapan merupakan bagian dari Hutan Lindung Sungai Wain yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2006, seluas 260 ha. Namun sejak pembangunan Kebun Raya Balikpapan, berapa banyak tegakan pohon Dipterocarpaceae berumur ratusan tahun yang harus dirubuhkan dan berapa banyak satwa yang terusir dari habitatnya?.


Padahal, di dalam kawasan hutan lindung ini terdapat 9 jenis primata, 287 jenis burung,  dan 451 jenis tumbuhan. Setidaknya, jika ingin membangun pusat penelitian, pemerintah harus benar-benar memikirkan, apakah tempat tersebut sesuai atau tidak. Kalau memang kawasan tersebut sudah menjadi areal konservasi dan penelitian, mengapa harus mengeluarkan kebijakan yang merusak hutan.




Jika dijaga dengan benar, maka hutan akan menjadi pusat penelitian dan pengetahuan yang tak ternilai. Pembangunan fisik hanya salah satu indikator kemajuan suatu daerah. Pertanyaan penting di benak kita, pembangunan seperti apa yang cocok untuk kawasan seperti HLSW? Lebih bijak dalam mengambil keputusan tentu akan banyak menyelamatkan nyawa makhluk hidup lain, bukan hanya manusia. 

Samarinda, 6 Juni 2016
Tulisan ini pernah dimuat oleh Klikbalikpapan Ongkos Mahal Menjaga Hutan 

Kami menyediakan Open Trip untuk Mengunjungi Tempat ini.
hubungi kami di : 
email : sarahagustio@gmail.com
Line/Wa: 081255567264
Ig : @sarahceae



Komentar