Hampir setiap hari hujan
mengguyur kota ini, jalanan becek berlumpur hitam hasil paduan dari debu-debu
dan air yang jatuh dari langit. Di tempat sampah depan kos kadang nampak
beberapa ekor cacing merah panjang mengeliat di sisa-sisa makanan anak kos
Malea. Atau beberapa ekor kecoa coklat kehitaman sibuk mengerumuni sisa nasi,
tapi tetap saja nenek dan ibu loandry duduk tenang sambil bergosip di bangku
depan rumah mereka yang berada tepat di depan tong sampah kami.
Deretan
rumah yang padat tanpa spasi satu dengan yang lainnya, atapnya yang saling
bertumbuk dan dindingnya yang saling menempel, hingga tak ada tanah hitam subur
yang nampak di kompleks ini, tapi untuk Kuburan pasti selalu ada tempat. Kami
tinggal berdampingan dengan kuburan, karena tidak ada wadah atau lokasi khusus
untuk pemakaman. Kata si Ibu Loandry “orang Sunda sudah terbiasa dengan
hal tersebut, jika nanti ingin pergi nyekar diawal puasa atau lebaran tiba
tidak perlu pergi jauh dari rumah, cukup pergi ke samping atau depan rumah
saja”.
Kami tinggal di Babakan Raya
gang IV, kelurahan Babakan Kecamatan Dramaga. Kecamatan ini merupakan suatu
wilayah di pinggiran kota Bogor, namun di sulap oleh IPB (institute Pertanian
Bogor) menjadi Kota. Kotanya para mahasiswa, dan salah satu penghuninya adalah
aku. Satu semester telah kami lewati
sebagai mahasiswa Pasca Sarjana, aku dan tiga orang teman dekatku, yang
sekarang hanya sisa bertiga sudah menerima hasil satu semester yang kami lalui
kemaren.
Sekarang kami bertiga, (Sarah
Agustio, Etha Marista dan M. Fajri Ramadhan) dan Si Aswar Rustam sudah
tidak lagi dekat dengan kami. Entah mengapa kami pun heran. Kami berempat
mengalami masalah yang sama di akdemik. Mungkin karena pola belajar kami yang
salah atau kami kurang faham dan waktu yang kami luangkan untuk belajar mungkin
masih kurang hingga kami mendapat masalah akademik, entahlah.
Yang aku tahu hampir setiap
hari kami belajar dan waktunya tidak kurang dari 8 jam. Mulai dari belajar
sendiri di kos hingga belajar kelompok dengan kawan-kawan sekelas.
Tugas juga telah kami kerjakan
dan kami hampir tak pernah absen untuk datang kuliah, hanya saja kami sering
datang terlambat karena tersesat mencari ruangan kelas, karena memang struktur
pola bangunan IPB yang sungguh membingungkan, bentuknya yang segitiga dengan
Wings dan lantai yang kurang jelas. Kadang tiba-tiba saja kami berada di
basement, padahal yang tertulis pada petunjuknya adalah lantai satu.
Etha memutuskan untuk pindak ke
kelas taxonomy dengan pak Mien, lengkaplah sudah kami bertiga dalam satu kelas.
Aswar tetap di kelas Ekologi, hingga membuat kami benar-benar semakin jauh
dengannya. Hanya jika ada kelas Metil dan Kolokium kami bersama, itupun tidak
sedekat dulu lagi.
Minggu pertama di Bogor setelah
pulang kampung, aku sempat down dua malam tiga hari begitu pula dengan
Etha. Namun aku rasa dia lebih tegar dibanding dengan diriku, tapi tetaplah
fajri yang paling kuat diantara kami bertiga. Untuk pertama kalinya aku
mendapatkan nilai jelek selama aku kuliah, ya hanya di IPB dan itu pada
semester satu.
Cukuplah dengan uring-uringan
hampir seminggu di rumah Samarinda dan tidak mood sama sekali saat di kampung ,
terlebih pada semua orang termasuk pacar, karena perasaan yang tidak nyaman dan
tidak tenang akan hasil ujian. Dan ternyata penyebabnya diketahui saat
kembali ke Bogor. rupanya nilai ku jatuh, begitu pula dengan tiga orang
temanku.
Tidur seharian, menangis
semalaman dan bad mood dengan setiap orang, sepanjang hari hanya di kamar kos,
hampir satu minggu tidak bisa move on. Bagaiamna tidak, ada teman satu kelompok
belajar mendapatkan nilai sempurna, dan nilai kami jatuh. Hiks rasanya itu,
seperti dunia mau runtuh dan meteor jatuh tepat dikepala kita. Itulah yang aku
rasakan.
Belum lagi, abangku yang terus
meminta proposal penelitian di saat mood ku yang sedang tidak bagus. Makinlah
rasanya dinding kamar kos yang tiba-tiba menyempit dan menghimpit badanku yang
semakin tidak terurus karena bad mood. Kurang makan, karena malas untuk keluar
kos.
Sekarang Etha pulang kampung
karena tetiba datoknya sakit hingga minggu 15 February kemarin meninggal dunia
dan dia terpaksa harus pulang, padahal dia sudah membeli tiket untuk hari
selasa, aku belum tau cerita lain untuk itu. Etha mengalami dua hal pahit selama
satu minggu ini. Belum lagi oleh pak Miftah dia tidak di ijinkan mengambil mata
kuliah Kolokium, aku rasa tiga hal yang menyakitkan. Semoga dia tetap tabah.
Kami sudah mulai aktif kuliah,
semester ini kami kuliah di tiga tempat, di Kampus Dramaga, Herbarium
Etnobotani jalan Juanda dan Herbarium Bogoriense BIOLOGI LIPI Cibinong. April
akan ada UTS dan Juni kami akan ujian lagi. Nilai kami harus bagus minimal 3 A
dan 1 AB jika kami ingin bertahan di kelas BOT. Saat itulah kami mulai merasa
bahwa Dramaga sudah mulai suram dan kami gerah dengan kampus yang memiliki
rating terbaik ketiga di Indonesia ini. Mereka tidak menyeleksi diawal saat
kami mendaftar masuk menjadi mahasiswa, tetapi menyeleksi di dalam ketika kami
kuliah.
Kumpul Bersama, 23 Januari 2015 |
Komentar
Posting Komentar