Invasive Species In Borneo : Karst dan Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jack) di Kabupaten Kutai Timur
Kelapa Sawit (Elaeis
guinensis Jack) berasal dari Nigeria Afrika Barat, telah di masuk di
Indonesia sejak tahun 1848, dan ditanam pertama kali di Kebun Raya Bogor yang
selanjutnya disebarkan ke Deli Sumatra Utara. Hingga saat ini tanaman Kelapa
Sawit berkembang sangat pesat, perkebunan kelapa sawit telah menjadi sumber
pendapatan bagi Pemerintah Indonesia, ketika biofuel menjadi pilihan energi
alternatif pada tahun 2000. Pemerintah Indonesia memperluas ekspansi perkebunan
kelapa sawit hingga 3 juta hektar di berbagai wilayah seperti Jawa Barat,
Jambi, Sumatera Selatan, Aceh, dan empat provinsi di Kalimantan dan Papua.
Rata-rata 70% produk kelapa sawit Indonesia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
ekspor. Dengan besaran persentase 30% untuk Eropa, 30% untuk China, 30% untuk
India dan sisanya ke negara lain. Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit
ternyata juga menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadan hutan
Indonesia, karena dibangun dengan mengkonversi hutan, menyebabkan deforestasi
dan ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan trofis,
serta hilangnya budaya masyarakat disekitar hutan, pencemaran lingkungan dan
konflik horizontal akibat dari masuknya perkebunan.
Sawit dan Karst
Barisan pohon sawit membentang
lurus, dan rapi bersama dengan juluran daun melambai lepas di sepanjang jalan
propinsi Kabupaten Kutai Timur jika kita ingin menuju ke Desa Pangadan,
Kecamatan Karangan. Di ujung jalannya pun nampak berdiri gagah bentangan Gunung
Karst yang menjulang tinggi hingga menyentuh awan berselimut pohon-pohon, 12
jam waktu yang akan dihabiskan menuju desa ini dari Kota Samarinda. Desa yang
memiliki luas 3.333 ha[1] ini nampak kecil dengan
himpitan pahon sawit yang cukup rapat mengepung sekujur sisi hingga sudutnya.
Belum lagi 2 kaplingan ijin usaha pertambangan batu bara yang juga aktif
mengeruk sejak tahun 1991.
Desa Pangadan, salah satu desa
tertua di Kecamatan Karangan, bahkan di Kabupaten Kutai Timur. Ia dihuni oleh
masyarakat Dayak Basap dan Kutai sejak tahun 1950an, namun mulai ramai pada
tahun 1974 sejak perusahaan kayu PT. Sangkulirang datang dengan mengantongi
ijin Hak Pengusaan Hasil Hutan Kayu (HPH) di Kecamatan Sangkulirang, masa ini
adalah jamannya Orde Baru berkuasa, di bawah kekuasaan Soeharto.
Namun kelompok Dayak Basap
memilih pergi meninggalkan kampung ketika mengetahui perusahaan PT.
Sangkulirang datang ke Desa Pangadan, Desa Bay atau Muara Bulan yang berada di
Hulu sungai Pangadan merupakan tempat baru yang dipilih oleh kelompok Dayak
muslim ini untuk melanjutkan kehidupan mereka.
Berbeda dengan kelompok
masyarakat Kutai, mereka memilih bertahan dan menerima hidup berdampingan
dengan PT. Sangkulirang, bersamaan dengan Perusahaan tersebut ramai pula
orang-orang dari Pulau Sulawesi datang ke Pangadan, mengadu nasib di PT.
Sangkulirang. Kutai, Toraja, Jawa dan Bugis serta beberapa keluarga Timor dari
pulau Flores, yang sekarang bermukim di desa Pangadan.
Sebelum tahun 2009, desa
Pangadan yang terletak di kaki Gunung Karst ini merupakan bagian dari Kecamatan
Sangkulirang, namun sejak di gaungkannya pemekaran kecamatan di Kutai Timur
pada tahun 2007-2008, Desa Pangadan Masuk kedalam Administrasi Kecamatan Karangan,
ia memisahkan diri dari Kecamatan Sangkulirang. Kecamatan ini merupakan
kecamatan yang dikelilingi oleh gunung kapur (Karst) yang membentang dari
Kecamatan Bengalon hingga Kecamatan Sangkulirang dan berbatasan langsung dengan
Kabupaten Berau.
Kawasan Karst Desa Pangadan
menjadi hulu dari 5 sungai utama di Kabupaten Kutai Timur dan Berau.
Sungai-sungai tersebut menjadi salah satu sumber mata air utama masyarakat di
hampir 100 desa dengan jumlah penduduk sekitar 105,000 jiwa, selain itu juga
sungai-sungai tersebut menjadi jalur transportasi masal yang menghubungkan dari
desa ke desa didua kabupaten tersebut, terutama di kecamatan sangkulirang,
Kutai Timur.
Ditahun 1980an kawasan karst di
sangkulirang – mangkalihat merupakan salah satu penghasil sarang Burung Wallet
alam di Kalimantan timur, namun diakhir tahun 2007 sarang Burung Wallet yang
berasal dari gua-gua di kawasan Karst mulai hilang, karena burung-burung Wallet
sudah tidak bersarang lagi di sana.
Padahal Kawasan Karst mempunyai
nilai penting bagi kehidupan masyarakat dan kaya akan keanekaragaman hayati,
namun sayang belum banyak diketahui dan mendapatkan perhatian yang serius dari
para pihak untuk pengelolaan dan perlindungannya. Potensi kerusakan terhadap
area ini juga sangat banyak terutama berasal dari perubahan lahan yang menjadi
perkebunan sawit, pertambangan batu bara, pemukiman serta pembangunan
infrastruktur. Selain itu juga beberapa aktivitas perambahan lahan dan
pembalakan liar turut menyebabkan terjadinya deforestasi.
Pengelolaan terhadap kawasan
Karst Sangkulirang–Mangkalihat sebenaranya perlu dilakukan dan juga membutuhkan
kerjasama dari berbagai pemangku kepentingan. Ketidakhatihatian dalam mengelola
kawasan ini akan berakibat pada resiko kekurangan air dan kehilangan nilai
sosial, budaya, ekonomi serta ekologi di sekitar Kawasan Karst.
Kawasan Karst Pangadan yang
juga telah di kelilingi oleh perusahaan kelapa sawit PT Gunta Samba sejak tahun
2004, yang hanya berjarak kurang dari 500 meter kebun sawit dengan kaki Gunung Karst
itu.
Di Desa ini PT.Gunta Samba
mendapatkan ijin perkebunan seluas 17.610 Ha dan PT Telen seluas 39.326 Ha,
masing-masing memiliki pabrik pengolahan CPO di Karangan dengan kapasitas
terpasang 45 ton TBS/jam, perusahaan ini dimiliki oleh Teladan Prima Group,
memulai bisnis kelapa sawit pada tahun 2004 dan memiliki target penanaman
40.000 ha, dengan produksi awal CPO (Crude Palm Oil) dan inti sawit (PK) pada
kuartal pertama tahun 2009. Distribusi dan penjualan, CPO dan PK merupakan
komoditas yang diperdagangkan setiap hari di Indonesia seperti Jakarta, Medan,
Surabaya, Dumai dan di pasar dunia termasuk Sabah, Kuala Lumpur dan Rotterdam.
Kabupaten Kutai Timur merupakan
kabupaten dengan ijin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit terbanyak dan
terbesar di Provinsi Kalimantan Timur, hingga tahun 2012 ada 147 ijin HGU
perkebunan sawit yang diterbitkan oleh pemerintah daerahnya.
Daya Rusak yang Berasal Dari
Perkebunan Sawit
Perkebunan sawit di Kabupaten
Kutai Timur tidak hanya mengancam Karst, namun ada banyak dampak buruk yang
ditimbulkannya selain yang baiknya adalah menambah pundi-pundi pendapatan
Daerah. Namun dibalik itu mulai dari persoalan tata ruang dimana monokultur,
homogenitas dan overload konversi yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati
yang kaya pada hutan hujan tropis, proses yang akan memicu kerentanan kondisi
alam dengan menurunnya kualitas lahan serta erosi, hama dan penyakit. Pembukaan
lahan perkebunan juga dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing,
membakar hingga menyebabkan meningkatnya gas CO2, sawit adalah tanaman
monokultur rakus akan unsur hara dan air, selain itu juga pertumbuhannya harus
dirangsang oleh berbagai macam pupuk, dan bahan kimia lainnya, terutama
pestisida untuk mengatasi hama.
Munculnya hama migran baru yang
sangat ganas mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna
lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman
akibat monokulturasi. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari
pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan
cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama.
Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa
sawit. Konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit
dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat
sistem perijinan perkebunan sawit dan lebih sering terjadi adalah konflik antar
perusahaan dan masyarakat dengan system Plasma yang diterapkan dan dijanjikan
oleh perusahaan pada masyakat. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk
pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana
alam seperti banjir dan tanah longsor
Dampak negatif terhadap
lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan
perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi,
melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan
di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai
keanekaragaman hayati yang tinggi.
Masyarakat Dayak Basap, Dayak
Wehea dan Kutai di Kecamatan Karangan dan Kecamatan Muara Wahau yang hidup
berdampingan dengan perkebunan sawit mengeluhkan bahwa mereka sekarang
kesulitan mendapatkan air bersih, karena air sungai yang menjadi sumber air
utama tercemar limbah sawit dan mendangkal hingga tidak layak digunakan lagi.
Hal-hal tersebut diatas jarang sekali mendapat perhatian dan penangan oleh
pihak berwenang yang juga memiliki andil didalamnya. Masyakarat menjadi korban
akan keinginan besar yang ingin dicapai oleh Pemerintahnya.
Sawit dan Perempuan
Industri sawit dengan skala
besar juga telah melahirkan ketidak adilan gender pada perempuan, industri
kelapa sawit merupakan industri yang bercorak maskulin layaknya industri
pertambangan. Kita bisa melihatnya dari proses pelepasan tanah, dimana
sebagian besar pemilik tanah adalah laki-laki dan perempuan jarang mempunyai
hak untuk bicara apalagi memutuskan dan jika kita melihat lagi dari struktur
dalam pabrik, laki-laki lah yang mendominasi dan keputusan berada ditangan
mereka.
Lain halnya dengan lapangan,
tempat sawit ditanam. Dengan alasan perempuan lebih teliti dan hati-hati serta
rajin perusahaan sawit tersebut lebih banyak menempatkan buruh perempuan
sebagai penanam benih dan bibit serta pemupukan. Padahal disanalah tempat yang
sangat beresiko bagi kesehatan perempuan, karena bahan kimia yang terhirup
setiap saat. Kondisi ini diperparah, karena buruh perempuan tidak dilengkapi
dengan alat pelindung yang dapat menjamin kesehatan dan keselamatan mereka.
Padahal Perempuan yang
tinggal di lahan kelapa sawit merasakan dampak yang muncul dari perkebunan
besar kelapa sawit antara lain kerusakan lingkungan, seperti kekeringan yang
disebabkan oleh industri kelapa sawit yang rakus air, pencemaran sungai sebagai
sumber kehidupan bagi perempuan di desa dan perubahan fungsi ekologis. Selain
kerusakan lingkungan, ekspansi perkebunan besar kelapa sawit dilakukan di
tanah-tanah pertanian yang diambil dari warga.
Perkebunan besar kelapa sawit
mengkonversi hutan dan menjadikan perempuan harus beralih mata pencaharian,
dari masyarakat petani ke masyarakat industri dengan menjadi buruh. Yang
lainnya, Pelanggaran hak asasi perempuan, khususnya yang berkaitan dengan hak
ekonomi, sosial dan budaya.
Pelanggaran HAM dan ketidak
adilan gender akan menciptakan kemiskinan terstruktur terhadap perempuan baik
yang dilakukan oleh neagra maupun non lembaga Negara, ini bukan hal yang baru
di negeri kita, namun ini menjadi konsekuensi atas pilihan ekonomi yang dipilih
oleh Negara, ketika model pembagunan menuntut untuk maju dan pengurus Negara
memilihnya dengan mengorbankan rakyatnya dengan cara merebut sumber-sumber
kehidupan yang selama ini dikelola oleh rakyat melalui berbagai agenda
liberalisasi terhadap sumber daya alam dengan cara mengabaikan keberlanjutan
lingkungan.
Penjualan sumberdadaya alam
makin gencar dilakukan, modal nasional dan international telah masuk untuk
perkebunan sawit skala besar. Indonesia telah menjadi penyedia pasokan ekspor
bagi negara-negara industri yang membutuhkan sumber energy yang besar dan
secara bersamaan juga menjadi sasaran pasar potensial bagi negara industri
dikarenakan populasi negara ini yang cukup besar. Jika Indonesia tidak
menghentikan invasi sawit yang masuk melalui modal daerah dan asing, maka
keanekaragaman hayati hutan hujan tropis kita akan punah, berganti dengan
tanaman monokultur yang menimbulkan banyak masalah bagi lingkungan dan masyarakat
dan kita akan kehilangan plasma nutfah yang paling berharga.
WE'RE MAKING ANOTHER OPEN TRIP Contact me:
email : sarahagustio@gmail.com
IG : @sarahceae
Cp : WA/Line 081255567264
[1] Data administrasi Desa
Pangadan (Umar, Sekeratis Desa)
Komentar
Posting Komentar