17 Agustus: Kita Belum Merdeka Bink !!!

17 agustus 2013


jalan jelawat, samarinda ilir. Koa Samarinda
“Bah, bah, baah banguun, kita pasang bendera yoo, di depan rumah. Abink lupa, kemaren waktu sekolah di suruh ibu susan pasang Bendera di depan rumah bah, kan besok 17 Agustus hari kemerdekaan kita. Jadi kita harus pasang bendera, kata ibu susan.”


Pagi yang dingin di hari Jumat, hujan rintik-rintik semenjak dini hari hingga terbitnya matahari membuat keluarga ku betah di dalam selimut hingga siang hari, kecuali Abink. Hari ini tepat sehari sebelum tanggal kemerdekaan Indonesia yang ke 68 tahun. Pagi ini hanya si Abink, adek ku yang paling kecil, yang dengan tumbennya bangun pagi, biasanya kalau tidak pukul 7 atau hampir terlambat sekolah, barulah dia bangun.

kamar lain aku mendengarkan permintaan si Abink kepada bapak, tapi bapakku tidak mau rupanya mengabulkan, upaya si Abink pun tidak cukup hanya dengan bapak saja, selanjutnya dia mengetok kamar Halim, dengan permitaan yang sama, yaitu memasang bendera di depan rumah, untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia, tapi hasilnya nihil. Si Halim malas bangun, dia masih ngantuk.

“Kak, bangun kak. Ayo kita pasang bendera di depan rumah kita”, Si Abink membangunkan ku. Ah, dengan cepat aku masuk kedalam selimutku, menyembunyikan seluruh badanku.

“Dingin bink, ga ada tiang, benderanya hilang” ga usah aja dipasang aja, dan ini lagi hujan juga, nanti kita masuk angin.” Tutur ku menolak ajakan si Abink.

Usaha adikku ini tidak cukup hanya berhenti di aku saja, dia dengan cepat menhampiri mamaku yang juga masih di dalam selimut. “ma ayo kita pasang bendera, nanti kalau ibu susan kerumah abink, abink ga pasang bendera, di marahnya Abing di sekolah”, ayo ma bangun”, tutur si Abink membujuk mama, yang ku liat juga malas-malasan untuk memasang bendera.

Adik ku yang baru saja duduk di kelas 4 Sekolah Dasar ini menyerah, dab akhirnya dia pergi nonton Spongebob Squarpans dengan di temani guling kesayangannya.

Beberapa menit kemudian bapaku dengan rambut putih yang menghiasi seluruh kepalanya bangun dari tidurnya, dan langsung memeluk si Abink yang sedang tidur-tiduran di depan TV.
“kenapa kita ga pasang bendera pak??”, lagi si Abink bertanya. “kita belum merdeka Bink, kita masih dijajah Bink”, jawab bapak ku.

“dijajah siapa?, kan kita ga tembak-tembakan kaya di mesir pak, coba liat TV! kita juga sudah punya presiden lo, jadi kita udah merdeka pak” balas Abink menjelaskan ke bapak ku.
“ia memang kita ga tembak-tembakan kaya di mesir, kita juga udah punya presiden”, tapi coba kamu liat tu  Pak Rudi Rubiandini.”  Bapak ku menjawab Abink.

“Kenapa Rudi Rubiandini ? tanya Abink”. “dia itu salah seorang orang yang di percaya Indonesiauntuk mengelola Minyak dan gas di Indonesia, nah tapi dia degan sengaja bohong sama kita, dia mau di suap sama orang asing, untuk mengebor minyak dan gas di Indonesia Bink”. Apa itu kita masih ga dijajah sama bangsa luar bink. Kan Merdeka itu artinya Bebas dari jajahan dari bangsa asing Bink” bapak ku menjelaskan dengan singkat kepada adik kecilku itu.  





Memang benar kata bapak ku, selama negara kita masih di bawah kendali bangsa asing, negara kita ini belum merdeka. Bendera yang berkibar dan betebaran di sepanjang jalan serta setiap rumah warga negara indonesia, untuk memperingati hari kenerdekaan sekarang ini hanyalah hiasan belaka. Hampir tak ada penghormatan untuknya. Warnanya pun tidak hanya merah putih saja, namun berbagai macam warna. Hmm, rata-rata warnanya hampir sama dengan warna partai yang sedang berkuasa sekarang ini.

Orang-orang didalamnya, hampir tertangkap tangan semua oleh KPK karena terbukti korupsi menyelewengkan anggran negara, menjual harta kekayaan negara (SDA) dan menipu rakyat indonesia. Tapi, mereka masih dengan Percaya Dirinya mencalonkan diri untuk di pilih rakyat indonesia di setiap pemilihan umum, menjadi wakil rakyat dan pemimpin. Aku rasa hanya keledai yang akan masuk kelubang yang sama untuk ke dua kalinya. “masa orang indonesia keledai??”

Hingga detik ini kita (Indonesia) masih saja melayani para penjajah di jaman VOC lalu, yang mempekerjakan orang-orang indonesia dengan sistem kerja paksa, untuk menambil kekayaan alam berupa Rempah-rempah. Kita, menolak dan melawan, hingga akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 kita memproklamirkan diri bahwa kita merdeka. Namun, hal serupa terulang lagi, sekarang kita dengan tangan terbuka mempersilahkan para penjajah itu datang mengeruk habis kekayaan alam kita. Minyak, gas, batu bara, emas, timah, bijih besi, tembaga dan kekayaan alam bumi indonesia lainnya mereka keruk hingga habis.

Pemerintah kita, yang telah kita pilih melalui partai biru, merah, hijau serta yang putih turut melenggangkan para penjajah itu mengusai indonesia. Mereka berkomplot, bersekongkol mengeruk hingga habis bumi kalimantan, sumatra, sulawesi dan meneggelamkan sidoarjo. Kalimantan timur, dulu di tahun 80-an menjadi pengekspor kayu terbesar untuk cina, korea, jepang, malaysia dan eropa. 11 juta meter kubik kayu untuk mereka pertahunnya.

Kini, 120 juta ton pertahun batu bara indonesia di berikan dengan harga murah ke negara-negara yang dulu menjajah bangasa ini. Jepang, belanda, spanyol, Inggris, kanada, dan amerika serikat mereka pengkonsumsi energi dari bumi indonesia. Belum lagi Blok Migas yang ada di indonesia, hampir 70% milik asing bukan milik kita sendiri. Lalu kebun-kebun kelapa sawit yang membentang hijau di nusantara 60% nya juga milik asing, malaysia, singapur, dan korea.

Melihat realita yang terjadi di Indonesia sekarang ini, apakah kita masih merasa merdeka hingga detik ini. Semestinya, bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya dengan tidak membiarkan bangsa asing kembali merampas Sumber Daya Alam yang kita miliki. Bukan dengan pasrah mengabdi dan menyerahkan kekayaan alam kita untuk menerangi negri mereka. Berhenti mengeruk dan menyerahkan Sumberdaya Alam bumi indonesia untuk asing. Dan berpikir untuk mengelola kekayaan alam kita sendiri untuk kesejahtraan banagsa, itulah  arti merdeka sesungguhnya.


Besok, 17 agustus bukan lah hari kemerdekaan kita Bink, tapi Hari Ulang Tahun kakak Sarah Agustiorini.

Komentar