Dusun Berambai : Perempuan Dayak Kenyah di Tengah Kepungan Tambang Batubara

Dusun Berambai, adalah sebuah dusun yang termasuk dalam Desa Separi Kampung, Kecamatan Tenggarong sebrang, Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebuah dusun yang merupakan daerah perbatasan antara Kota Samarinda bagian barat dengan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Dua jam perjalanan darat yang akan kita habiskan untuk sampai ke Dusun ini dari Kota Samarinda, dan jika kita memulai perjalanan dari Tenggarong ibu kota kabupaten Kutai kartanegara kurang lebih menghabiskan waktu dua setengah jam perjalanan. Ada beberapa desa yang akan kita lewati menuju Dusun ini, salah satunya adalah Desa Bangun Rejo,  dan Desa Kertabhuana yang merupakan desa transmigran tahun 1982.

Di sepanjang perjalanan pun kita akan melihat lubang-lubang besar exs tambang batubara, yang berada tepat disisi kiri dan kanan jalan raya yang mengantarkan kita ke Dusun Berambai, hingga kita menuju jalan masuk utama Dusun ini kita disambut oleh houling tambang batu bara PT. Mahakam Sumber Jaya (MSJ).

Dari jalan ini waktu tempuh yang kita habiskan untuk sampai ke Dusun Berambai adalah satu jam perjalanan. Jalanan panjang berkerikil berwarna coklat kehitaman menyatu dengan lumpur.

Jalan houling perusahaan batubara PT. MSJ, akan mengantarkan kita ke pintu masuk Dusun Berambai. Tepat “di mulut” dusun Berambai mengalir Sungai Separi yang berwarna kopi susu, menggeliat perlahan seiring bunyi bising houling batubara. 

Jalan sepanjang 40 km dengan lebar 20 meter itu, membelah Dusun Berambai. Bahkan telah menghabisi ladang masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan penghuni Dusun. Kawasan Dusun Berambai, merupakan pusat pengerukan batubara PT. MSJ. Sejak tahun 2006 perusahaan ini beroperasi dan mengangkut batubara ke pelabuhan yang berada di Dusun Separi Kampung, tepat di tepi kiri mudik sungai Mahakam.

 “Katanya orang, tambang batu bara itu bisa bikin kita kaya. Tapi ko kami malah miskin, susah dan tersiksa oleh tambang batu bara. Dulu kami hidup enak sebelum perusahaan batu bara itu datang, punya air sungai separi untuk memasak, mencuci dan mandi, ada banyak ikan juga disungai ini. Kami bisa menikmatinya setiap hari, tapi sekarang jangankan ada ikan untuk menggunakan airnya saja kami takut, karena warna airnya sudah coklat hitam begitu” tutur Uwe Pelingit ia salah seorang perempuan paruh baya dusun berambai.

Riwayat Perpindahan

Dusun Berambai dihuni oleh komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan, yang datang dari Apo Kayan, sekarang daerah tersebut masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Kayan Hulu, Kabupaten Malinau.

Suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan, mempunyai riwayat sejarah migrasi yang panjang mengenai perpindahan mereka dari Apo Kayan ke kawasan pedalaman Mahakam. Mereka memulai perjalanan migrasi sejak tahun 1954.

“Kami berjalan satu minggu dari Apo Kayan ke wilayah Sungai Boh. Kemudian menuju Sungai Mahakam sambil mengendong anak dan orang tua yang sudah tidak kuat lagi berjalan,”  tutur Amai Pesuhu, kakek berusia 70 tahun yang juga Kepala Adat.

Di pedalaman Mahakam, komunitas Dayak Kenyah yang berpindah dari Apo Kayan dan menetap di tiga kampung yaitu Batu Majang, Rukun Damai dan Datah Bilang. Sebelum menetap di Datah Bilang, komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan pada tahun 1960 menetap di kampung persinggahan untuk berladang. Sejak tahun 1971, mereka menetap di kampung Datah Bilang yang kala itu ditetapkan oleh pemerintah sebagai desa resettlement penduduk (Respen). Mereka menetap di Datah Bilang hingga tahun 1990.

Kekurangan bahan pangan karena hasil lading tak mencukupi dan niat menemukan penghidupan yang lebih sejahtera, menjadi alasan mereka untuk melanjutkan perjalanan mereka. Pada penghujung tahun 1990, mereka milir dari Datah Bilang hingga tiba di Embalut, pelabuhan persinggahan di tepian Mahakam. Kemudian mereka meneruskan perjalanan darat menuju kampung Separi. Hingga mereka tiba di suatu tempat yang mereka yakini cocok untuk pemukiman karena berada di tepi sungai dan tanahnya subur, yakni Berambai.

Berambai Tanah Harapan
Dusun Berambai terdiri dari tiga Rukun Tetangga (RT), berpenghuni 300 kepala keluarga dengan jumlah jiwa sekitar 500 orang. jiwa yang hidup disini. Selain orang Dayak Kenyah Lepoq Jalan, dusun ini juga dihuni orang Dayak Lun Dayeh atau juga disebut orang Dayak Krayan.

Berladang merupakan mata pencaharian utama. Tradisi berladang warisan leluhur di Apo Kayan masih dilaksanakan secara seksama. Lokasi ladang berjarak sekitar 9 kilometer dari kampung, yang harus ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor melewati jalanan houling batubara. Selain itu, kadang mereka menggunakan sarana transportasi sungai bila hendak ke ladang.

Mereka lazim bermalam diladang, satu atau dua hari barulah mereka pulang ke kampung, dengan membawa hasil ladang. Padi, Pisang, Pucuk Pakis, dan berbagai macam buah lainnya mereka bawa pulang ke kampung untuk mereka makan dan jika berlebih mereka jual ke pasar Separi. Pohon buah-buahan endemik seperti ihau, langsat dan jeruk juga mereka tanam di sekitar pemukiman rumah.

Sungai Separi, menjadi akses utama untuk pergi ke ladang dan membawa hasil ladang mereka pulang ke kampung dengan menggunakan perahu bermesin, yang lazim disebut ces. Rumah Usad Lawing terletak sekitar 5 meter dari tepian sungai Separi. Beliau yang kini berusia 50 tahun, adalah Ketua Adat Dusun Berambai. Ia mempunyai ladang di daerah sungai Bulo seluas sekitar dua hektar.

Bulo dalam bahasa Kenyah berarti bambu. Kawasan sungai Bulo merupakan daerah yang terkenal subur dan di sungai ini banyak ikannya, itulah salah satu alasan mengapa mereka berladang disini. Selain di sungai Bulo, mereka juga berladang di kawasan Sungai Serdang bersama dengan orang-orang Krayan.

Luasan ladang mereka tidak diketahui secara jelas, namun menurut mereka  setiap kepala keluarga memiliki sekitar dua sampai tiga hektare. Hanya beberapa orang saja yang memilki surat menyurat tanah ladang yang mereka miliki. “Tidak masalah tanpa surat menyurat. Kami hidup damai disini, tidak akan ada tetangga yang mengambil tanah ladang. kami masing-masing punya tanah dan ladang”, tutur Usad Lawing yang memiliki raut wajah khas Dayak Kenyah.

Batubara Mengancam Kehidupan
 Lima belas tahun terasa amat singkat bagi perjalanan hidup orang Dayak Kenyah Lepoq Jalan di dusun Berambai. Setelah itu, mereka menjalani hidup dengan derita berkepanjangan. Sejak 1990 hingga 2006 mereka hidup dengan nyaman di Tanah Harapan. Menikmati beningnya air sungai Separi, yang menjadi sumber air utama masyarakat. Bahkan kala itu sungai Separi menajdi akses jalan utama menuju ladang seperti halnya kehidupan mereka di Apo Kayan dan Datah Bilang.

Sungai Separi merupakan arena kehidupan perempuan Dayak Kenyah di Dusun Berambai.  Tepian sungai Separi di sekitar rumah mereka menjadi pusat kegiatan sehari-hari, terutama mencuci dan mandi seraya berbincang tentang kehidupan. Sungai Separi juga merupakan sumber air bersih, bagi kehidupan mereka beserta kekayaan ikan yang melimpah sebagai sumber makanan protein hewani. Sungai Separi adalah jantung kehidupan komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan di dusun Berambai.

Namun kehidupan yang penuh kedamaian itu menjadi terancam, sejak perusahaan batubara PT. MSJ masuk ke Dusun mereka. Perusahaan tambang batubara pemegang izin yang dikeluarkan oleh pemrintah pusat itu, beroperasi di sekitar dusun dan limbahnya mencemari sungai Separi. Tidak hanya itu, tambang batubara telah menghancurkan kandungan resapan air, dan tanah ladang mereka tak lagi subur. Selain itu perusahaan tambang batubara membutuhkan lahan yang sangat luas untuk menggali, membuat akses jalan pengangkutan, dan penumpukan batubara. Hingga warga dengan terpaksa melepaskan ladang dan tanah yang mereka miliki, karena tanah mereka sudah digarap oleh perusahaan tanpa seizin mereka. Warga dusun Berambai kian terancam kehidupannya oleh perusahaan batubara yang telah merampas tanah, air, dan hutan yang mereka miliki.

PT. MSJ mulai beroperasi di kawasan Tenggarong Seberang sejak tahun 2004, dengan luas konsesi 20.380 hektar. Tenggarong Seberang merupakan kecamatan yang memilki 17 Dusun, termasuk Berambai. Perusahaan batubara ini memiliki tiga pit aktif, yaitu PIT L 0 di Kilometer 27  arah Bontang menuju Separi, Kutai Kertanegara; PIT Blok E di kilometer 50 yang terletak di kawasan Bontang; PIT M 13 yang terletak di Kilometer 2, kawasan sekitar Dusun Kertabuana dan Dusun Separi Kampung.

Di pit pertama inilah jalan houling PT. MSJ membelah Dusun Berambai dan menghancurkan kehidupan mereka. Perusahaan tambang batubara dengan semena-mena membersihkan lahan yang akan ditambang, membabat hutan, mengupas lapisan tanah paling atas yang subur, yang menutup tumpukan biji batubara yang terkubur 15 hingga 100 meter ke dalam tanah. Batubara digali, dan ditumpuk di satu kawasan. Kemudian air hujan yang datang membuat basah tumpukan batubara, airnya masuk ke sungai dan mencemari sungai, lubang-lubang dan pencucian batubaran pun ikut mencemari sungai Separi.

Air yang mengandung sianida dari batubara, mengalir dan menyatu dengan air sungai yang dipakai ibu-ibu dusun Berambai untuk mencuci, mandi dan memasak. Air sungai berwana coklat susu kehitaman, karena sudah tercemar lumpur  limbah batubara dan racun yang berbahaya bagi kesehatan. Dalam sebulan PT. Mahakam Sumber Jaya, untuk satu kali pengapalan batubara bisa mencapai 1.0461.60 ton. Maka dalam beberapa tahun ke depan, akan ada ribuan ton tailing yang mencemari sungai Separi di dusun Berambai. Selain mencemari sungai, terjadi pula banjir limbah yang menggenangi 60-an hektar sawah warga dusun Kertabuana, Kecamatan Tenggarong Sebrang, dusun tetangga Berambai.

Perempuan Dayak
Weq Peligit (46) adalah perempuan Dayak Kenyah di dusun Berambai. Kegiatan sehari-harinya berladang, mengurus suami dan 3 orang anaknya yang duduk di bangku sekolah dasar. Seluruh kegiatanya sehari-hari, dari mencuci, mandi dan aktivitas lainnya, sejak ia remaja ia lakukan di sungai Separi yang tepat berada di seeblah kiri rumahnya. “Dulu saya senang sekali bermain di sungai ini, bersama teman-teman sebaya, menangkap ikan dan mencari buah ihau yang jatuh ke sungai,”  tutur Peligit mengingat kenangan masa lalunya.

Kini faktanya berbeda. Sejak tambang batubara beroperasi, ia tidak pernah lagi melihat ikan dan mencari buah ihau yang jatuh ke sungai. Ia terpaksa menggunakan air sungai Separi, begitu pula dengan warga lainnya, karena tidak ada lagi air cadangan. Celakanya, ia dan warga dusun Berambai tidak tahu air bahwa air sungai telah tercemar dan terkontaminasi dengan tailing serta kandungan sulfur yang tinggi.

Biasanya, ia dan warga lainnya menggunakan pernjernih air untuk mengurangi keruhnya air sungai. Namun sekarang penjernih itu sudah tidak berpengaruh lagi. Airnya tetap saja keruh. Bahkan beberapa bulan terakhir, ia dan warga dusun Berambai, hanya mengandalkan air hujan untuk memasak, mandi dan mencuci. “Tapi hujan jarang turun. Kami sering sekali kehabisan persedian air untuk kehidupan sehari-hari. Kalau mau beli, mahal harganya dan harus beli di luar kampung. Saya, tidak ada kendaraan dan uang untuk membeli air,” tutur Peligit dengan wajah kusut menatap sungai Separi dari balik jendela rumahnya.

Akibat dari pencemaran sungai oleh limbah batubara, membuat posisi perempuan di dusun Berambai makin rentan. Terutama terhadap kesehatan dan beban kerja yang bertambah, dan tugasnya pun akan semakin berat dikehidupan sehari-hari. Semula mereka melakukan kegiatan sehari-hari dengan kelimpahan berkah dari sungai, sekarang beralih menjadi menunggu hujan dan pergi mencari air ke dusun tetangga yang jaraknya sekitar 10 kilometer.  Selain itu pelepasan lahan-lahan ladang membuat posisi perempuan terpuruk. Perempuan yang mengandalkan penghasilan ekonominya dari berladang, kehilangan mata penaharian. Makin terpinggirkan dari sumber-sumber ekonominya. Celakanya, lahan petanian yang berubah menjadi kawasan tambang,  juga tak menyediakan kesempatan kerja bagi perempuan. Pendidikan dan keterampilan yang rendah tak memiliki banyak tempat di perusahaan tambang, industri yang dikenal maskulin.

Kegiatan mereka yang berhubungan dengan air sangat terganggu, karena mereka kehilangan fungsi sungai. Bukan hanya itu, semua hal yang berhubungan dengan sungai tersebut pun hilang. Ikan-ikan tidak dapat hidup lagi. Perahu sudah tidak bisa lewat lagi karena pendangkalan lumpur begitu tebal, dan ketika pergi ke ladang mereka harus menempuh jarak yang jauhnya dua kali lipat.

Sekarang gangguan kesehatan mulai menyergap. Mereka mengalami gatal-gatal dan pusing setelah mengunakan air sungai. Kondisi ini, sebelumnya tidak pernah mereka alami. Celakanya, hingga sekarang, belum ada fasilitas kesehatan yang tersedia di dusun Berambai. Jangankan untuk kesehatan, fasilitas sekolah untuk anak-anak sangat tidak layak. Mereka seperti warga yang terlupakan di Kabupaten Kutai Kartanegara yang memiliki kekayaan alam berlimpah.

Tenaga guru Sekolah Dasar hanya ada 3 orang dari Tenggarong Seberang. Setiap kali hujan datang mengguyur dusun Berambai, anak-anak libur sekolah karena tidak ada guru yang mengajar mereka. “Saya sedih kak, tidak bisa belajar setiap hari seperti teman-teman yang di kecamatan. Guru jarang datang mengajar kami,” tutur Uwe anak kelas 3 Sekolah Dasar di Berambai. Bukan hanya Uwe yang merasakan hal tersebut, namun semua teman-teman Uwe mengeluhkan hal yang sama.

Apa alasan para guru tidak datang mengajar? “Jalan ke Berambai tidak bisa ditempuh dengan sepeda motor ketika hujan, lumpur tebal dan becek tidak bisa dilewati. Pernah beberapa kali saya terjebak dilumpur tidak bisa bergerak. Makanya saya tidak datang mengajar ketika hujan. Jalan houling perusahaan adalah satu-satunya jalan ke Berambai,” ujar salah seorang guru memberikan alasan tidak dapat mengajar.

Memang memilukan nasib warga Berambai. Dusun mereka terkepung houling perusahaan. Sungai yang menjadi sumber penghidupan tercemar, hingga mereka tidak memilki sumber air lagi. Fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak diperhatikan pemerintah. Padahal sebenarnya  dusun mereka, adalah salah satu daerah yang menyumbang pemasukan negara, karena PT. MSJ adalah perusahaan pemegang izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang dikeluarkan langsung oleh pemerintah pusat.

Kaum perempuan dan generasi muda adalah mereka yang paling terancam kehidupannya. Perjalanan panjang perpindahan dari Apo Kayan, Datah Bilang menuju tanah Harapan Berambai, kini tak lagi menawarkan masa depan yang cerah. Mereka telah menjadi warga negara yang mati “di lumbung batubara”. Tragis memang.

Untuk Hari Kartini dan Hari Bumi

Komentar